Penundaan Pilkada Serentak, Mengapa Perpu Mesti Terbit?

Pilkada Serentak (Ilustrasi)
Penundaan empat tahapan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2020 oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI pada 21 Maret, diikuti dengan kesepakatan antara penyelenggara pemilu, Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, dan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) dalam rapat dengar pendapat (RDP) 30 Maret untuk salah satunya mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) penundaan Pilkada telah memunculkan diskursus publik. Selain isi perpu yang diperdebatkan, alasan dikeluarkannya perpu juga menjadi sorotan.

Pada diskusi “Urgensi dan Substansi Perppu Pilkada” yang diselenggarakan oleh Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit) (7/4), urgensi terbitnya perpu jadi perbincangan utama. Sebagai penyelenggara pemilu, Ketua KPU RI, Arief Budiman menilai perpu penting dikeluarkan pemerintah karena tiga opsi penundaan tahapan Pilkada Serentak 2020 yang diajukan oleh KPU tak bisa menaati Pasal 201 ayat (6) Undang-Undang (UU) Pilkada.

Pasal dan ayat tersebut menghendaki agar pemungutan suara Pilkada Serentak 2020 diselenggarakan pada bulan September. Tiga opsi penundaan Pilkada sebagai dampak Coronavirus disease 2019 (Covid-19), pemungutan suara digelar pada Desember 2020, Maret 2021, dan September 2021.

“Tiga opsi itu di luar September2020. Karena itu, urgensi revisi undang-undang menjadi sangat penting. Nah, apa mau merevisi undang-undang melalui pembahasan di parlemen atau langsung dengan perpu terserah,” tandas Arief.

Perpu untuk meluruskan penundaan Pilkada yang tak sesuai prosedur

Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini memandang bahwa penundaan Pilkada Serentak 2020 mesti sesuai prosedur dan mendapatkan legitimasi hukum. Pelajaran dari negara bagian Winconsin di Amerika Serikat dan Liberia, penundaan pemilihan yang tak berlandaskan hukum dibatalkan oleh lembaga yudisial.

“Di negara bagian Winconsin, pemilu ditunda dua bulan. Gubernur mengeluarkan surat penundaan. Tapi ternyata, executive order itu dibatalkan oleh Mahkamah Agung negara bagian yang meminta agar tetap dilakukan pemilihan, dan putusannya hanya beberapa jam sebelum TPS (tempat pemungutan suara) dibuka. Ini memperlihatkan betapa keputusan soal penundaan itu punya implikasi hukum yang tidak sederhana. Kalau dia tidak di-framing dengan legal basis yang kuat, dia rentan dipersoalkan,” urai Titi.

Kasus Indonesia dengan Pilkada Serentak 2020, tak ada regulasi yang mengatur kewenangan KPU RI untuk melakukan penundaan pilkada serentak di seluruh daerah. UU Pilkada, kata Titi, hanya mengatur penundaan secara parsial dan dari bawah ke atas, yakni penundaan dilakukan oleh penyelenggara pemilu di tingkat bawah, lalu mengerecut ke tingkat atas jika permasalahan penyebab ditundanya Pilkada semakin meluas. Penundaan empat tahapan Pilkada oleh KPU RI, menurut Titi, bahkan tak menggunakan prosedur tersebut.

“Itu mesti ditunda dulu per daerah, tapi KPU kan langsung mengumumkan penundaan langsung secara nasional dalam bingkai keserentakkan. Memang ada argument bahwa Pasal 9 UU Pilkada menyatakan KPU merupakan penanggungjawab akhir, tapi penanggungjawba akhir tidak boleh menegasikan pasal yang mengatur prosedur penundaan pilkada,” tutur Titi.

Sebab penundaan Pilkada Serentak oleh KPU RI tak sesuai prosedur, mesti ada produk hukum yang melurusksan. Produk hukum itu adalah perpu yang merevisi pasal-pasal terdampak penundaan Pilkada.

“Ada yang bilang, kan bisa saja nanti dilakukan oleh langkah-langkah dimana setiap daerah mengumumkan penundaan sesuai Pasal 122 UU Pilkada. Itu tidak bisa dibenarkan karena kita pakai asas berlaku surut. Kita pakai basis keputusan yang baru dibuat untuk melegitimasi sebuah tindakan yang sudah dilakukan. Jadi, langkah KPU itu harus diluruskan oleh perpu,” urai Titi.

Perpu karena UU Pilkada tak cukup menunda Pilkada secara keseluruhan

Menambahkan argumentasi Titi mengenai urgensi perpu, Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas, Feri Amsari mengatakan bahwa di UU Pilkada, terdapat dua nomenklatur, yakni pilkada lanjutan dan pilkada susulan.

Pilkada lanjutan ditempuh jika sebagian atau seluruh wilayah pemilihan tejadi kerusuhan, gangguan keamanan, bencana alam, atau gangguan lainnya yang mengakibatkan sebagian tahapan pemilihan tidak dapat dilaksanakan.

“Jadi, di sebagian wilayah atau seluruhnya terjadi salah satu hal itu.  Dan, kejadian itu mengakibatkan sebagian tahapan pemilihan tidak dapat dilaksanakan. Jadi, sebagian saja. Artinya, tahapan lain sudah dilakukan. Maka, dilakukan pemilihan lanjutan yang akan meneruskan tahapan yang terhenti,” jelas Feri.

Sedangkan pilkada susulan dilakukan apabila di suatu wilayah terdapat kerusuhan, gangguan keamanan, bencana alam, atau gangguan lainnya yang menyebabkan terganggunya seluruh tahapan penyelenggaraan.

“Jadi, di suatu wilayah. Hemat saya, ini berkaitan dengan dampak yang mempengaruhi proses pilkada pada wilayah-wilayah tertentu, tidak seluruh wilayah Indonesia. Dan bahwa ada gangguan yang menyebabkan terganggunya seluruh tahapan.  Jadi, tidak hanya satu dua tahapan tertentu,” lanjut Feri.

Dengan demikian, tak ada aturan yang memberikan kewenangan kepada penyelenggara pemilu untuk menunda pilkada di seluruh daerah. Perpu dinilai penting diterbitkan.

Tak berhenti sampai di situ Feri juga menerangkan soal objek hukum atau pihak yang berwenang menentukan penundaan pilkada. Pertama, jika gangguan terjadi di satu atau beberapa desa/kelurahan/kecamatan, maka surat keputusan penundaan pilkada dikeluarkan oleh KPU kabupaten/kota atas usul Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK).

Kedua, jika gangguan terjadi di satu atau beberapa kabupaten/kota, maka surat keputusan penundaan pilkada dikeluarkan oleh KPU provinsi atas usul KPU kabupaten/kota.

Ketiga, untuk Pilkada kabupaten/kota, jika gangguan menyebabkan 50 persen pemilih tidak bisa menggunakan hak pilihnya, maka penundaan Pilkada diumumkan oleh gubernur.

Dan keempat, pada Pemilihan Gubernur (Pilgub), apabila terjadi gangguan sehingga 40 persen kabupaten/kota tidak dapat menyelenggarakan pilkada dan 40 persen pemilih tidak bisa menggunakan haknya, maka pihak yang berwenang mengumumkan penundaan Pilkada adalah menteri dalam negeri atas usul KPU provinsi.

“Tidak ada subjek hukum untuk menunda 270 daerah di seluruh provinsi, dan seluruh kabupaten/kota yang akan menyelenggarakan pilkada. Ada jenjang hirarki pejabat tata usaha negara yang mengeluarkan kebijakannya, dan tidak ada wewenang yang diberikan kepada KPU RI,” ucap Feri.

Pengaturan yang berbeda-beda tersebut, menurut Feri, dampak berakibat pada keputusan yang berbeda pula. Bisa jadi dalam kasus yang sama, pejabat yang berbeda menerapkan kebijakan yang berbeda.

“Ada potensi kebijakan yang berbeda yang diambil. Apalagi, jika masih menggunakan Pasal 79 PKPU No.8/2018. Pembuat kebijakan beda, guberur, mendagri. Perspektifnya bisa beda di masing-masing daerah,” ujarnya. )*

Sumber: rumahpemilu.org

Related Posts

0 Comments:

Posting Komentar









Berita Terpopuler

Copyright © MERDEKAPOST.COM. All rights reserved.
Redaksi | Pedoman Media Cyber | Network | Disclaimer | Karir | Peta Situs