NU dan Lingkungan Hidup (Sebutir Pikiran Muktamar NU ke-34)

 

Pahmi, Sy

Oleh: Pahmi.Sy

Muktamar NU ke 34 di propinsi Lampung dan memasuki 1 abad NU (1926-2026) merupakan momentum yang sangat strategis untuk menegaskan kembali ke khitthan 1926 dengan menguatkan posisi tidak hanya pada level Negara, tetapi yang lebih utama adalah menguatkan NU pada level civil society. Komitmen NU terhadap Keutuhan Indonesia dengan NKRI yang bersifat final dan harga mati tidak perlu diragukan lagi, dengan komitmen itu wajib warga NU menjaga, tanah, air dan udara serta sumber daya alam di wilayah NKRI. Begitu juga dengan komitmen ke-Islaman sebagai rahmatan lil’alamin, ini menunjukkan Gerakan NU tidak hanya penolong bagi manusia, tetapi penolong bagi alam semesta (ekosistem).

Ormas NU lahir dari grassroot (akar rumput) yang sangat terikat dengan lingkungan sosial maupun ekosistem/lingkunagan lingkungan alamnya. Hadratussyaikh. K.H Hasyim As’ari peletak batu pertama dan utama NU, tidak hanya membangun relasi sosial ukhuwah nadhiyah, Islamiyah, wathoniyah dan bahkan insyaniyah/ basariyah yang melintas batas dan skat-skat sosial kemanusiaan serta menghormati hak-hak lingkungan sebagai pondasi kehidupan, dan membumikan budaya kearifan lokal sebagai wujud NU itu ada. Akan tetapi K.H. Hasyim As’ari membangun relasi terhadap lingkungan alam. Santri-santri dikampung tidak hanya diajak untuk menebang pohon, tetapi diajak untuk menanam demi hidup sehat, bercocok tanam demi untuk menjawab atas kedaulatan pangan demi masa depan umat manusia. Tulisan ini akan menyoal komitmen dan kesungguhan Ormas NU dan warganya dalam menjaga dan melestarikan lingkungan, sebab NU adalah organisasi yang terbesar di Indonesia, separoh warga Negara Indonesia adalah warga NU baik secara kultural maupun struktural. Sebagian besar warga NU hidup dipedesaan, baik sebagai petani, buruh tani, pedagang, buruh perusahaan, buruh perkebunan, nelayan dan lain sebagainnya sebagainya. Tentunya relasi warga NU pedesaan dengan sumber daya alam, baik hutan, hasil bumi, maupun sungai dan lainnya sudah berjalan secara turun temurun, sehingga muncul pengetahun lokal yang menjaga keseimbangan alam. Namun seiring dengan itu arus modernisasi dan kepentingan kapitalisme telah mengeksploitasi alam dengan menggunakan teknologi yang terintegrasi sedemikian rapinya, sehingga menggeser nilai-nilai lokal yang menjaga alam.

Keterpurukan lingkungan saat ini seperti pemanasan global yang terdampak pada perubahan iklim, pengundulan/ deforestasi hutan secara masif, kebaran hutan baik di kawasan hutan gambut dan mineral, banjir bandang, longsor, abrasi sungai, kekeringan, krisis air bersih, kwalitas udara yang memburuk,  dan lainnya  yang membuat kualitas udara dan air semakin melemah serta ruang hidup yang sehat semakin menyempit, semua akan membuat manuisa tidak memiliki masa depan dan akan punah seperti punahnya mahluk hidup yang lain.

Populasi manusia yang semakin meningkat dengan kebutuhan hidup yang semakin banyak akan berhadapan dengan daya dukung  dan tampung lingkungan yang tersedia, seberapa banyak materi, energi dan informasi yang masih tersedia untuk populasi manusia, kalau ini tidak dipikirkan dan ditata kembali, maka daya dukung dan tampung lingkungan akan habis. Pertumbuhan  populasi manusia yang cepat, kebutuhan akan pangan, bahan bakar, tempat permukiman dan lainnya, sedangkan  kebutuhan secara domestik juga bertambah dengan cepat (Sumarwoto; 2004). Ini semua akan mendorong tradisi eksploitasi dan menguras daya dukung lingkungan.

Pandangan antroposentrik melihat alam hanya berharga dalam konteks kegunaannya terhadap kesejahteraan manusia, sehingga dengan prinsip ini manusia dengan senjata ilmu pengetahuan dan teknologi, mereka mengeksploitasi alam dengan “kebablasan” tanpa mengenal lelah dengan dalih kesejahteraan, tapi lupa meninggalkan daya dukung dan cadangan alam untuk keseimbangan dan generasi masa depan. Ketidakseimbangan alam atau disekuibirium terjadi disebabkan oleh manusia, dengan kemajuan yang dicapai oleh manusia melalui ilmu pengetahuan dan teknologi menyebabkan kepesatan teknologi dan hiper-industrialisasi (Dewi, 2015). Pandangan ini didasarkan pada filsafat Cartesian, dimana manusia memposisikan dirinya sebagai pusat dari alam semesta, sementara alam hanya sebagai obyek dan pemuas kepentingan manusia, sehingga muncul sikap eksploitatif tanpa kepedulian dan sensitifitas terhadap alam (Abdoellah, 2017). Pikiran dan tindakan yang eksploitatif berdsarkan filsafat ini harus dikembalikan kepada upaya untuk menyematkan lingkungan dengan pikiran-pikran yang ramah dan cinta akan kelestarian lingkungan hidup.

Indonesia yang memiliki kekayaan sumber daya alam yang melimpah “tanah sorga, tungkat kayu dan batu jadi tanaman” begitulah lirik lagu Koes Plus/Yok Koeswoyo yang mengambarkan kaya dan indahnya Indonesia. Para penjajah berlomba-lomba ingin mengusai Indonesia, baik sebelum kemerekaan maupun setelah kemerdekaan. Eksploitasi penjajah terhadap sumber daya alam Indonesia terus menerus bahkan dengan berbagai cara dilakukan setelah kemerdekaan. Begitu juga dengan eksploitasi Negara, swasta dan rakyat (misal yg dilakukan rakyat; illegal logging, Peti dll) dengan dalil untuk kesejahteraan warga Negara Indonesia, dalam kenyataannya telah melampaui batas, sehingga lingkungan alam Indonesia semakin terpuruk.

Usia Indonesia sudah 76 tahun dan usia NU 95 tahun tentulah sudah memiliki kematangan, ketajaman dan kedewasaan dalam berpikir dan bertindak untuk menjaga dan melestarikan lingkungan alam demi keberlangsungan hidup NKRI dan generasi masa akan datang. Tulisan Huda di NU online, menegaskan sejak tahun 1980-an NU sudah membuat konsep fikih lingkungan yang dimotori KH. Ali Yafie dan KH.Sahal Mahfudh, kemudian tahun 1990-an NU sangat giat membahas isu lingkungan dalam bahtsul masail, terkait isu-isu lingkungan hidup, peran Negara dan masyarakat, berikutnya pada Muktamar NU ke 32 tahun 2010 di Makasar, NU secara organisasi membentuk LPBINU yang merupakan lembaga NU untuk mengurusi bencana alam, perubahan iklim dan kelestarian lingkungan. Upaya yang dilakukan NU secara organisasi sudah dilakukan, namun belum dilakukan secara maksimal dan massive, sepertinya hanya sebatas wacana dan tindakan tambal sulam dan tidak menyeluruh.

Indonesia sebagai sebuah Negara telah berupaya untuk menyelamatkan lingkungan dengan berbagai program pembangunan melalui departemen Lingkungan Hidup dan Kehutanan, sepertinya upaya pembangunan tersebut tidak mampu mengimbangi watak eksploitatif Negara yang dibonceng oleh perusahaan-perusahaan swasta, sehingga negarapun tidak memiliki kekuatan untuk menjaga dan mengendalikan keseimbangan lingkungan, oleh sebab itu kekuatan civil society yang mandiri dan kuat yang memiliki komitmen terhadap kelestarian dan keseimbangan lingkungan alam adalah satu solusi yang paling mungkin. Gerakan civil society akan menolak dominasi dan hegemoni Negara yang eksploitatif terhadap lingkungan.    

Pertanyaannya siapa yang akan menjadi “lokomotif” gerakan civil society & civil ecology yang akan memimpin gerakan pelestarian dan penjaga keseimbangan lingkungan ?, Jawabnya adalah NU sebagai sebuah ormas terbesar. Kenapa NU, paling tidak ada beberapa alasan; 1) bahwa NU ikut andil mendirikan Negara Indonesia, maka wajib pula untuk menjaganya; 2) NU memiliki Komitmen ke-Indonesiaan dan komitmen ke-Islaman NU, yang secara ideologis selayaknya menjadi garda terdepan dalam menjaga dan melestarikan lingkungan; 3) sebagian besar warga NU berada pada tingkatan akar rumput, yang paling banyak memanfaatkan ekosistem dan jasa lingkungan dan alam, baik sebagai petani, nelayan dan buruh, melalui jaringan ini akan mampu menjaga lingkungan; 4) NU memiliki jaringan pesantren, madrasah dan masjid terbanyak di Indonesia kalau institusi ini diberdayakan untuk mendorong kelestarian lingkungan, maka lingkungan akan terjaga dari generasi ke generasi berikutnya; 5) NU memiliki struktur kepengurusan dari PBNU sampai ke ranting NU, kalau ini digerakkan untuk lingkungan , maka akan mempengaruhi kebijakan internal organisasi NU maupun pihak-pihak eksternal NU. Dan NU juga mampu memasivekan doktrin “Rahmattan lil allamiin”

Berdasarkan itu isu lingkungan yang mengancam hidup manusia, harus menjadi bahasan penting bagi peserta Muktamar NU ke 34 di Lampung, membuka sedikit pikiran yang jernih dan sungguh-sungguh untuk menyelamatkan lingkungan dan generasi masa depan serta menyelamatkan Indonesia dari keterpurukan. Melalu muktamar NU ke 34, melalui kepengurusan PBNU baru yang yang diberikan mandate/amanah semoga dapat mengerakkan secara massive, terstrukur dan sistematis dalam menyelamatkan lingkungan hidup untuk menjamin keberlanjutan penghidupan, “dari NU-NYA selamatkan BumiNYA”

(Penulis adalah salah satu Pengurus NU Jambi/ Ketua LSOTF UIN STS Jambi)

Durian

 

Musri Nauli 

Rasa-rasanya mau tertawa melihat Al Haris, Gubernur Jambi Mampir membeli durian. Usai melihat Tanah Pemprov Jambi di wilayah Pondok Meja, Kecamatan Mestong, Muara Jambi. 

Turun dari mobil, Al Haris bersama rombongan langsung menyantap buah durian di tempat pedangang itu. Seketika suasana di sana tampak berbeda saat Gubernur Jambi, Al Haris menyantap buah durian. Al Haris pun tampak menikmati durian tersebut.

Saat makan durian pun, ada seorang ibu mengendong anak yang ingin membeli durian, Al Haris pun langsung menawari dan menyebutkan kepada ibu itu cara memilih durian yang bagus.

“Pilih durian itu biar kecil asal manis,” cetus Al Haris kepada ibu itu sambil tertawa. 

Sebagai “orang dusun” dan dibesarkan di kampung, durian adalah salah satu kenikmatan yang tidak dapat digantikan rasa dan suasananya. 

Buah durian yang dikenal sebagai simbol makanan mewah adalah makanan yang tidak mungkin dilewatkan masyarakat Melayu Jambi. Suasana apapun akan terhenti apabila adanya buah durian. 

Durian bahkan dapat dibuatkan tempoyak. Tempoyak sering juga disebutkan asam durian. Makanan yang dilengkapi dengan ikan patin dan dibuatkan santan dikenal sebagai makanan yang dihidangkan untuk para raja. 

Sehingga tidak salah kemudian apabila orang makan tempoyak, suasana sekeliling tidak begitu terasa. 

“Mertuo lewat, Awak dak nengok, bang”, kata seorang teman. Memberikan perumpamaan apabila Sedang makan tempoyak. 

Sebagai makanan mewah, simbol durian sering disebutkan didalam seloko Jambi. Sebagaimana disampaikan oleh Abdullah Sani (Yai sani) ketika penutupan debat kandidat Wakil Gubernur “Padi menjadi. Rumput hijau. Aeknyo tenang. Ke aek cemeti keno. Ke darat durian gugur”. Atau dalam filosofi Jawa “gemah repah. Loh Jinawi. Tata tentrem kerto Raharjo”. 

Makna “Padi menjadi. Rumput hijau. Aeknyo tenang. Ke aek cemeti keno. Ke darat durian gugur”. 

Musim durian tahun ini mulai menampakkan hasilnya. Setelah 2 tahun berturut-turut gagal panen. Musim durian adalah “lambang” alam semesta yang merestui kelahiran dan kepemimpinan dari daerahnya. 

Tidak perlu diceritakan tentang durian. Tanaman yang hidup apabila ekosistem dan lingkungan sempurna di negara tropis. 

Bersama-sama dengan madu, Harimau, durian adalah lambang lengkapnya ekosistem. Ekosistem alamiah yang tidak perlu diatur oleh manusia. Tidak setiap tempat dapat menghasilkan durian. Dan tidak setiap waktu “rekayasa” dapat dilakukan untuk menghasilkan durian. 

Durian adalah musim tanda “ekosistem” berjalan baik. Sempurna dan lengkapnya sebuah eksosistem suatu tempat. Sebagai tanda “peradaban” dan penghormatan manusia kepada alam sekitarnya. 

“Buah pangkal” sebagai perumpamaan penghormatan jatuhnya buah durian pada pangkal musim durian yang merupakan “jatah” dari sang Raja Hutan. Buah pangkal adalah durian yang menjadi “hak” raja hutan. 

“Tidak boleh diambil” bisik pemangku adat sembari menyebutkan “puyang” yang menguasai tempat di daerah itu. Sebagai tanda, Manusia adalah bagian dari sekrup kecil dari ekosistem lingkungan yang berkaitan satu dengan yang lain. Dan keesokan harinya, buah yang yang telah dibuka, rapi membukanya, rapi menyusun buah durian yang telah dimakan sebagai bentuk “Raja hutan” telah memakan buah pangkal. 

“Durian Dak boleh ditutu”. Sebuah seloko yang menempatkan “batang durian” tidak boleh dipanjat. Menempatkan durian yang jatuh dari pohon adalah buah durian yang memang baik dimakan. 

Pohon durian tidak boleh ditebang. Sebuah penghormatan kepada “keramat” pohon durian. Apalagi pohon durian yang ditanami “puyang”. Pohon durian ditanami puyang adalah buah durian yang diberikan kepada anak cucu. Siapapun boleh menikmati hasilnya. Namun pohon durian tidak boleh ditebang. “Durhako” kata sang pemangku adat. 

Pohon durian disejajarkan dengan “pohon sialang”. Pohon yang dihinggapi lebah. “Sialang pendulangan” dalam seloko Marga Pemayunanga. Bukan hanya pohon sialang yang tidak boleh ditebang. Tapi “pendulangan” adalah daerah sekitar “tumbuhnya pohon sialang” yang tidak boleh ditebang. Lebah akan hinggap di pohon yang kemudian disebut “pohon sialang’. Daerahnya harus mendukung hidupnya lebah. Daerah ini yang kemudian disebut “sialang pendulangan’. 

Menempatkan durian dan madu dalam ekosistem lingkungan yang lengkap adalah symbol penghormatan manusia kepada alam. Dan alam tidak pernah berbohong. Alam kemudian merestuinya dengan “menghasilkan durian dan madu” yang bisa dinikmati manusia.

Perintah

 

Musri Nauli

Setelah menggelar berbagai pertemuan koordinasi, berbagai rangkaian kegiatan mengecek kesiapan perangkat menghadapi pandemik, mendatangi berbagai rumah sakit termasuk ke Rumah sakit swasta, memastikan ketersediaan tempat tidur, akhirnya Al haris sebagai Gubernur Jambi kemudian menandatangani Peraturan Gubernur No. 16 Tahun 2021 (Pergub No. 16 Tahun 2021). 

Pergub No. 16 Tahun 2021 mengikuti Kebijakan nasional terutama Pemerintah Pusat dalam penanganan covid 19.

Menurut media massa yang memuat kegiatan penandatangan Pergub No. 16 Tahun 2021, sasaran Pergub Refocusing Anggaran untuk menentukan langkah-langkah dalam penanganan covid-19 di Bidang Kesehatan dan Pemulihan Ekonomi Nasional. 

Dua konsentrasi yang menjadi pidato dan kata sambutan didepan Istana paska pelantikan Gubernur/Wakil Gubernur. 

Dengan telah ditandatangani Pergub No. 16 Tahun 2021 maka Pergub dapat digunakan dalam Operasional. Sekaligus menjadi pengawasan dari kejati, Polda, BPKP. Sehingga kegiatan dapat terararh, akuntabel dan dapat dipertanggungjawabkan. 

Sebagaimana telah sering disampaikan oleh Al haris, Provinsi Jambi menganggarkan 500 Miliar lebih dana untuk anggaran penanganan covid-19. Pergub No. 16 Tahun 2021 juga mengatur bidang Kesehatan senilai Rp.143.114.911.830 untuk Pemulihan Ekonomi Nasional Rp.398.319.565.872 dan belanja Jaring Pengaman Sosial sebesar Rp.49.275.041.142.

Konsentrasi awal untuk menghadapi pandemik dan pemulihan ekonomi memang menjadi tugas utama dan konsentrasi diawal-awal Pekerjaan sebagai Kepala Daerah. Sekaligus juga turunan dan implementasi dari Visi-misi Jambi mantap. 

Dengan menempatkan Pergub Refocusing Anggaran dalam penanganan covid-19 di Bidang Kesehatan dan Pemulihan Ekonomi Nasional maka diharapkan Jambi dapat melewati krisis yang berkepanjangan. Sekaligus memastikan dapat melewati krisis dengan baik. 

Semoga perintah tegas yang disampaikan oleh Al haris dapat diikuti langkah cepat dari Seluruh perangkat dan birokrat. Sehingga kerja-kerja yang dikejar pada tahun pertama dapat dilewati. Dan tidak mengganggu kerja-kerja yang Sudah menunggu pada tahun kedua. 

Mari kita berikan dukungan kepada Al haris dan Yai sani untuk berkonsentrasi melaksanakan tugasnya. 

Dukungan diperlukan dari berbagai multi stakeholders. Sembari bergandengan tangan sembari menatap optimis menuju langkah ke depan.

Lumbung

 


Musri Nauli 

Ditengah pandemik yang belum adanya kepastian akan berakhir, pengecekkan padi di berbagai tempat penyimpanan terus dilakukan Al haris sebagai Gubernur Jambi. 

Belum seminggu menjabat setelah pelantikan, Al Haris langsung bergerak cepat. Mendatangi Bulog Jambi. 

Menurut Kepala Perum Bulog Kanwil Jambi, stok beras berjumlah 7.600 ton. Kualitas medium yang tersebar di lima gudang bulog di wilayah Provinsi Jambi. Sedangkan kualitas premiun bisa mencapai 800 ton. Sehingga totalnya mencapai 8000 ton. 

Mengutip dari antara Jambi, kebutuhan beras di Jambi dua ribu ton perbulan. Sehingga dengan stok yang tersedia maka diperkirakan cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat untuk 4 bulan ke depan. 

Memastikan beras di gudang adalah memberikan kenyamanan ditengah masyarakat. Sehingga pandemik yang melanda Indonesia dan Jambi tidak terpengaruh kebutuhan mendasar masyarakat Jambi. 

Namun ditengah masyarakat Melayu Jambi, setiap pemimpin yang kemudian dipercaya kemudian baru terpilih, selalu melihat isi padi d lumbung. Biasanya untuk mengukur, apakah hasil panen padi terakhir mampu tersedia hingga menjelang panen berikutnya. 

Cara Pandang kepemimpinan ini adalah kelaziman yang sering dipraktekkan didalam rapat-rapat adat. Dengan adanya kepastian ketersediaan isi padi di lumbung maka Pemimpin yang telah dipilih kemudian tenang menjalankan tugas-tugasnya.  

Didalam rapat-rapat adat, para mangku kemudian melaporkan kepada Pemimpin yang baru terpilih. Biasanya disampaikan dengan muka ceria isi padi di lumbung. Dan tentu saja sembari menegaskan akan terus menjaga isi padi di lumbung. 

Jabatan tidak berkaitan dengan periode jabatan Pemimpin ditengah masyarakat . Terus melekat dan memegang Teguh kepercayaan diberikan. Sehingga dengan ditugaskan terus menjaga isi padi di lumbung, mangku dapat memberikan informasi dan perkembangan terus menerus kepada pemimpin. 

Hampir disetiap dusun-dusun di Jambi memiliki lumbung padi. Menyimpan padi. Sebagai kebutuhan sehari-hari. Dan itu terus dijaga oleh mangku. Sehingga masyarakat tetap tenang beraktivitas kehidupan sehari-hari. 

Dan setiap memulai penanaman padi yang ditandai dengan peristiwa adat seperti “kenduri sko”, “rapat kenduri”, secara serentak kemudian masyarakat mulai melakukan prosesi penanaman padi. 

Istilah-istilah seperti “nurun Benih”, “nyemai”, “nugal”, “nanam” hingga “tuai” tanaman padi masih banyak dipraktekkan di masyarakat. 

Kepastian isi padi lumbung adalah bagian prosesi kebudayaan yang masih berlangsung hingga kini. 

Dan Pemimpin terpilih selalu menggunakan amanah yang diberikan untuk memantau isi padi di lumbung.

Angka Kemiskinan

Musri Nauli 

Ketika Al Haris mendatangi BPS Jambi dan mendengarkan pemaparan mengenai pengaruh perekonomian akibat pandemik, konsentrasi Al Haris sebagai Gubernur Jambi ditujukan kepada nasib pedagang Kecil dan UMKM. 

Catatan BPS menarik untuk ditelusuri. Selain menjadikan basis data untuk melihat kenyataan ditengah masyarakat sekaligus juga mengukur kinerja awal-awal Al Haris menjabat. Dan sekaligus mengukur kekuatan untuk mencapai visi-misi Jambi Mantap. 

Kalau istilah di Jambi dikenal dengan “Mengaji diatas kitab. Menangis diatas bangkai’. Sehingga perdebatan kita tidak mengawang, pokoke, asal nyimplak ataupun menimbulkan kehebohan. 

Membicarakan angka-angka BPS, menarik diikuti. Tiga tahun yang lalu, gonjang-ganjing politik di Jambi dihebohkan dengan pernyataan tentang kurang gizi di Jambi yang mencapai 30%. Bahkan angka nasional mencapai 40 %. Angka yang cukup mengerikan dan dapat meninggalkan generasi “kurang gizi”. 

Sayapun kaget. Apakah angka 30% busung lapar di Jambi dan 40% di Indonesia sudah mengintai kita. Apakah angka itu begitu mengerikan sehingga kita lalai atau luput memperhatikannya. 

Dalam literature sering disebutkan kurang gizi akibat gizi buruk (malnutrisi) disebabkan penyakit akibat kekurangan energy dan protein. Akibat kurang gizi maka sering dikenal “busung lapar”. Penyakit ini menyerang balita usia 0 – 4 tahun. Penyakit yang menyerang dinegara-negara berkembang. Termasuk di Indonesia. 

Mengikuti jejak busung lapar yang telah dipaparkan angkanya mencapai 30 % di Jambi dan 40 % di Indonesia alangkah baiknya kita mempelototi data-data resmi dari lembaga negara. Entah Kementerian Kesehatan ataupun BPS. Angka resmi yang menggambarkan keadaan dan dapat menjadi rujukan. 

Memasuki tahun 2018 apabila kita bandingkan dengan angka gizi buruk mencapai 30% di Jambi sebagaimana telah dipaparkan maka kita dapat merujuk kepada data-data resmi. 

Dengan penduduk  Jambi 3,5 juta jiwa (BPS, 2018) dengan angka kemiskinan 7,9% maka penduduk yang termasuk kategori miskin mencapai 277.685. 

Apabila kita sandingkan gizi buruk (30 %) dengan jumlah penduduk miskin 277.685 jiwa maka terdapat 83 ribu jiwa. 

Atau apabila kita konsentrasi kepada gizi buruk terhadap kelahiran bayi 25 ribu pertahun di Jambi maka terdapat 7,5 ribu bayi yang terpapar gizi buruk. Padahal kasus gizi buruk tahun 2017 hanya mencapai 55 kasus (0,22 %). Jauh dari angka 30% yang dipaparkan. 

Tapi berapapun angka gizi buruk yang menimpa Indonesia dan Jambi maka kita akan menghasilkan generasi yang hilang (lost generation). Sehingga terjadinya angka busung lapar mencapai 30% apalagi 40 % Indonesia dapat menyatakan “keadaan luar biasa’. 

Didalam Laporan 2020 yang disampaikan Februari 2021, BPS menyebutkan “Jumlah penduduk miskin di Provinsi Jambi pada Maret 2021 sebanyak 293,86 ribu orang. Jika dibandingkan dengan jumlah penduduk miskin pada September 2020, maka selama enam bulan tersebut terjadi penambahan jumlah penduduk miskin sebanyak 5,8 ribu orang.

Dengan demikian, secara umum akibat pandemik justru meningkatkan jumlah penduduk miskin bertambah. 

Angka-angka inilah yang dikhawatirkan oleh Al Haris. Dengan meningkatnya angka kemiskinan dan semakin tinggi orang miskin maka dapat meningkatkan angka kriminal dan kerawanan sosial. 

Badai pandemik yang panjang dan belum berkesudahan yang menimbulkan dampak perekonomian justru akan menimbulkan masalah baru. Angka kriminal dan kerawanan sosial.

Dengan membaca angka-angka yang dipaparkan oleh BPS maka langkah dan strategi yang digunakan harus tepat sasaran. Konsentrasi menghadapi pandemi dilakukan dengan memprioritaskan Jaring Pengaman Sosial berupa Bantuan Langsung Tunai (BLT) Covid-19 untuk keluarga miskin dan keluarga yang terdampak dan  Bantuan modal usaha untuk pedagang kecil atau usaha rumah tangga guna menggerakkan sektor nonformal akibat covid-19. 

Program ini termaktub didalam rencana aksi 1 didalam menghadapi pandemi covid-19. 

Tentu saja masih banyak program-program yang telah disusun. Kita menunggu langkah-langkah kongkrit yang dilakukan Al Haris sebagai Gubernur. 

Sembari memberikan dukungan nyata untuk mendukung program-program yang langsung menyentuh pedagang kaki lima dan UMKM. Dan terutama program-program untuk Rakyat Kecil. 

Ungkap Dugaan Bagi Bagi Uang Senilai Rp20 Miliar di PSU Pilgub Jambi

 

Nurul Fahmy

Oleh Nurul Fahmy

Pemilihan Gubernur Jambi 2020 lalu telah memakan korban. Mereka umumnya adalah pelaku pelanggar pemilu. Seperti NF, yang telah divonis hukuman penjara 3 tahun karena terbukti melakukan politik uang, bagi-bagi sembako dan tiang listrik. Jangan sampai PSU 27 Mei 2021 ini, Anda jadi korban berikutnya.

Selain NF, korban lain juga adalah penyelenggara pemilu itu sendiri. Sebanyak 5 orang Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) sudah dipecat. Mereka terbukti mencuri suara pasangan Fachrori Umar- Syafril Nursal untuk diberikan kepada pasangan Cek Endra - Ratu Munawaroh di Kotobaru, Kota Sungaipenuh. Kelima PPK ini dibayar uang tunai dengan nilai mencapai setengah N Max (Rp15 juta) perorang untuk aksi mereka itu.

Meski para pelaku sudah dipecat, namun sayangnya, proses pidana bagi mereka sampai kini tidak jelas. Termasuk pengusutan terhadap terduga pemberi uang, yakni pasangan CE- Ratu. Masyarakat hingga saat ini tetap menunggu proses pidananya oleh aparat penegak hukum.

Korban pelaku berikutnya adalah Komisoner KPU Provinsi Jambi, Sanusi. Yang bersangkutan terbukti memberikan data penting KPU kepada pasangan Cek Endra. Majelis Hakim dalam sidang di DKPP akhirnya memberikan peringatan keras kepada Sanusi karena terbukti melanggar kode etik KPU. Sanusi akhirnya memilih mengundurkan diri dari KPU.

Di Kota Jambi dan Tanjab Timur, berdasarkan laporan ke Bawaslu sebelum hari pencoblosan Desember 2020, pelanggaran pemilu umumnya dilakukan pasangan Cek Endra dan Ratu Munawaroh. Meski sempat diproses, namun kasus ini mentah di Gakkumdu. Drama penyelidikan kasus ini bergulir ke DKPP. Sejumlah fakta janggal, kita tahu, terungkap dalam sidang itu beberapa waktu lalu.

Satu Juta Perkepala 

Meski korban telah jatuh selama Pilgub Jambi, namun dugaan pelanggaran pemilu berupa praktik bagi-bagi uang jelang PSU ini tetap tak surut. Seperti informasi belakangan ini. Seorang emak-emak diduga menerima uang  di salah satu kecamatan di Muarojambi, dari salah satu kandidat.

Bagi-bagi uang dengan modus tunjangan hari raya (THR) juga santer terdengar. Bahkan caranya lebih "canggih". Tidak diberikan secara tunai, tapi ditransfer langsung ke rekening warga atau saldo di salah satu aplikasi.

Salah satu kandidat disebut telah menyiapkan anggaran sebesar Rp20 sd Rp40 miliar untuk diberikan kepada pemilih agar mencoblos kandidat tertentu. Asumsinya satu pemilih diberikan uang Rp1 juta sampai Rp2 juta perorang. Uang sebesar itu diharapkan mampu memberikan kemenangan kepada pasangan tersebut, dengan target perolehan suara mencapai 20 ribu, dari 29 ribu suara pemilih yang akan ikut PSU di 88 TPS di 5 kabupaten/kota di Jambi.

Meski belum terkonfirmasi, informasi ini jangan dianggap remeh dan sepele. Tidak boleh diabaikan. Jika dipraktikkan, jelas sangat menciderai proses demokrasi di Jambi. Apalah arti dua puluh miliar untuk proses akhir pilkada ini bagi kandidat yang beruang dan ambisi menjadi kepala daerah atau gubernur. Dibanding dengan biaya selama proses pra dan pasca pemilihan 9 Desember 2020 lalu, uang Rp20 miliar tidak besar. Duit segitu cuma kaleng-kaleng.

Berbagai pihak, utamanya pengawas pemilu diharapkan buka mata dan telinga. Dugaan ini memang seperti kentut. Baunya ada, tapi tak diketahui sumbernya. Sebagian kita mungkin telah mendengarnya. Mencium baunya. Tapi tak punya kemampuan mengungkapnya. Tapi ini jelas tak boleh diabaikan. Kita semua harus buka mata, pasang telinga. Mengakses transaksi keuangan dengan menggandeng pihak terkait seperti Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dan  Otoritas Jasa Keuangan (OJK) adalah salah satu langkah yang dapat dilakukan.

Menelisik dugaan transaksi serentak atau berkala ke sejumlah rekening baru di sejumlah daerah di Jambi, jelas harus dilakukan. Kalau ada, ini jelas mencurigakan. Seluruh pihak diharapkan juga proaktif menelisik dugaan ini.

Jangan sampai statemen Kapolda Jambi Irjen Pol Albertus Rachmad Wibowo, yang mengancam akan menangkap langsung pelaku politik uang (pemberi dan penerima) hanya jadi sekedar angin lalu. Jangan sampai ketegasan ini macet di tingkat bawah, hanya karena kita abai dan menganggap semua itu, bagi bagi uang Rp 1 juta perkepala itu, tak mungkin.

(Penulis adalah wartawan)

Opini Musri Nauli: Surat Kerajaan untuk Kerinci (1)

  

Musri Nauli

Musri Nauli

Tidak dapat dipungkiri, berbagai dokumen yang tersimpan rapi di Universitas Leiden, Belanda menggambarkan pola komunikasi surat menyurat antara Kerajaan Belanda dengan penguasa Kerinci.

Sebagaimana dituliskan oleh Hafiful Hadi Sunliensyar, naskah-naskah yang didalam literatur disebutkan aksara Jawi didokumentasikan dan dialihbahasan oleh Voorhoeve.

Naskah-naskah Jawi yang diteliti oleh Voorhoeve pada 1941-1942. Voorhoeve dalam penelitiannya telah mendokumentasikan sekitar 89 naskah beraksara Jawi yang ditulis pada kertas

Di antara 89 naskah tersebut, sekitar lima puluhan di antaranya merupakan surat-surat kerajaan yang dikirim kepada penguasa Kerinci. Surat-surat kerajaan tersebut berasal dari Kerajaan Islam yang merupakan jiran dari wilayah Kerinci yaitu Jambi, Minangkabau dan Inderapura.

Naskah Jawi adalah naskah yang ditulis menggunakan aksara Arab-Melayu atau disebut pula sebagai aksara Jawi.

Baca Juga: Opini Musri Nauli: Artefak di Kerinci

Penggunaan aksara Jawi kemudian berkembang seiring dengan banyaknya kerajaan bercorak Islam yang berdiri dan berkembang di Nusantara sejak abad ke-16 M. Penggunaan aksara Jawi tertua pada naskah terdapat di dalam surat yang dikirim oleh Sultan Abu Hayat dari Ternate kepada Raja João III dari Portugis, berangka tahun 928 Hijriah (1521-1522 M). Aksara Jawi ini juga digunakan oleh para penguasa Jambi dan Minangkabau dalam berbagai surat-suratnya yang dikirim ke berbagai wilayah termasuk ke wilayah Kerinci.

Hafiful Hadi Sunliensyar menjelaskan dengan adanya dokumen dan naskah maka dapat menggambarkan latar belakang historis dalam teks.

Hafiful Hadi Sunliensyar berkonsentrasi terhadap tiga naskah untuk Depati Suka Menggala di Tanah Sleman, Kerinci. Sedangkan naskah lain adalah surat yang dikirimkan untuk Depati Empat.

Pada umumnya surat bertanggal. Dibubuhi cap kerajaan. Berisikan nama-nama pemberi atau yang mengeluarkan naskah, jenis naskah, nama-nama penerima naskah dan tujuan dikeluarkannya naskah.

Surat juga bertanda Kepala surat berisi tentang penjelasan pendirian dan dasar kerajaan Minangkabau yang dimulai dari Nabi Adam sampai Iskandar Zulkarnain.

Yang menarik adalah piagam Kerinci. Berisikan Kitab Undang-Undang Minangkabau dari Kota Manindjau.

Hafiful Hadi Sunliensyar kemudian menyebutkan Kota Manindjau yang dimaksud adalah Koto Majidin, salah satu desa yang termasuk dalam wilayah Mendapo Karamanten atau Mendapo Kemantan di Kerinci

Naskah kuno yang ditulis dengan aksara Rejang dari Sekungkung. Naskah dimiliki Depati Sandaran Agung. Naskah aslinya dimiliki oleh Depati di Seleman. Dan naskah Inderapura yang dimiliki oleh Depati di Kemantan.

Baca Juga: Opini Musri Nauli: Kesaktian Kerinci

Namun aksara Rejang dikoreksi oleh Ulu Kozok. Menurutnya itu bukan aksara Rejang. Tapi aksara incung. Memiliki kemiripan bentuk dan satu rumpun aksara.

Kemudian didalam naskah ditemukan cap Pangeran Suta Wijaya. Cap ini juga ditemukan di Renah Kemumu. Renah Kemumu termasuk kedalam Marga Serampas. Sekarang menjadi Desa Renah Kemumu termasuk kedalam Kecamatan Jangkat, Merangin.

Makna dari naskah diantaranya (1) Hijrah Nabi ”Sallallahu alaihi wa Sallam”, telah seribu seratus enam (2) tahun pada tahun waw, pada bulan Rabiul Akhir pada enam hari bulan pada malam Jum’at (3) pada waktu Isya, dewasya itu Duli Pangiran Suta Wijaya menggaduhkan (4) piagam kepada Depati Suta Menggala. Serta titah duli Sultan, adapun (5) Tanah Saliman itu selubuk sehukur sedanaunya dan menteri (6) sambilan pamangku lima dan tiga puluhnya dan segala cupak gantangnya, (7) semuwa kamu, sehadat Depati Suta Menggala. Jikalau tiyada menurut (8) perintah Depati Suta Menggala yang benar, jikalau menterinya sedenda men (9) teri jika pemangku sedenda pemangkunya, jika tiga puluhnya sede (10) nda tiga puluhnya, jika cupak gantangnya sedenda cupak gantangnya. Itulah (11) titah duli Pangiran hubaya-hubaya jangan kamu laluwi seperti titah duli (12) pangiran yang digaduhkan kepada Depati Suta Menggala. Tammat iyang (13) menyuratnya Encik Marah orang hiya. ha-ha-ha (ditulis secara vertikal).

Naskah yang dikeluarkan oleh Pangeran dari Kesultanan Jambi yang bergelar Pangiran Suta Wijaya kepada salah seorang depati di Kerinci yang bergelar Depati Suta Menggala. Piagam yang dikeluarkan pada 06 Rabiul Akhir 1106 Hijriah atau 17 November 1694 M ini,secara ringkas berisi pengakuan pihak Kerajaan yang diwakili oleh Pangiran.

Naskah lain berisikan (1) Ini surat piagam digaduhkan Sultan Ingalaga (2) kepada Dipati Suta Menggala telalu Pati Sambilan, (3) jikalau angga’ iya menju(n)jung Dipati Suta Mang (4) gala sah danda Dipati Suta Menggala, tiga puluhnya (5) pun demikian juga dandanya itulah bunyinya (6) titah Sultan, tammat.

Advokat. Tinggal di Jambi

Baca juga Opini Musri Nauli Lainnya:

Jambi Sebagai Kota Dagang

Alasan Rasional Mendesak Mundur

Hak Privasi

Opini Musri Nauli: Jejak Belanda di Jambi

Opini Musri Nauli: Jejak Belanda di Jambi

Musri Nauli

Indonesia adalah negeri kaya-raya. Zamrud khatulistiwa. ”Tongkat dan kayu jadi Tanaman” kata Koes Plus. “Gemah ripah loh jinawi” istilah Jawa. “Padi Menjadi. rumput hijau. Kerbo gepuk. airnya tenang. Ikan jinak. Ke aek cemeti keno. Ke darat durian gugu’” istilah Melayu Jambi.

Lalu mengapa Negeri Belanda yang luasnya “seupil mampu menguasai Indonesia 1.09 juta kilometer persegi, 17 ribu pulau selama ratusan tahun ?

Belanda datang ke Indonesia dimulai dari pelayaran pertama yang dipimpin oleh Cornelis de Houtman tahun 1596. Berhasil mendekati Kerajaan Banten namun terlibat perang dengan Portugis. Belanda kemudian diusir dari Banten terus ke Madura dan kemudian diusir dan pualng ke Belanda dengan membawa sedikit rempah-rempah.

Tahun 1598, Belanda kemudian tiba dipimpim Jacob van Neck. Hubungan dengan Banten diperbaiki dan kemudian diterima. Belanda kemudian mengirimkan tiga kapal pulang ke Belanda. Tahun 1599 kemudian ke Maluku dan berhasil membawa rempah-rempah melimpah ruah. Tahun 1612.

Tahun 1602, pembesar Belanda Olden Barneveld menghimpun semua kongsi besar kedalam Verenigde Oos-Indische Compagnie (VOC). Gubernur Jenderal VOC Pertama adalah Pieter Both. Semula kedudukan VOC di Ambon untuk kemudahan monopoli rempah-rempah. Namun kemudian dipindahkan ke Jayakarta sebagai control jalur perdagangan di Malaka. Setelah peperangan panjang dengan Jayakarta tahun 1619 berhasil dikuasai. Jayakarta kemudian berganti menjadi Batavia. 

Setelah memantapkan kekuasaan di Batavia selanjutnya VOC konsentrasi ke Banten. Setelah itu Mataram, Cirebon, Maluku, Banda, Ambon, Makassar dan Bone.

Memasuki tahun 1799, VOC kemudian bangkrut. Disebabkan keserakahan penguasa local, ketidakcakapan para pegawai mengendalikan monopoli bahkan menyebabkan kas VOC menjadi kosong.  Belum lagi perang dengan Inggeris di Persia, Hindustan, Sri Langka dan Malaka. Pemerintahan Belanda kemudian mengambil alih. Masa ini kemudian dikenal dengan Hindia Belanda.

Jejak terhadap perkebunan paska tahun tanaman paksa (cultuursteel) masih dapat dilihat didalam berbagai penelitian.

Tahun 1836-1845 mulai didirikan kebun-kebun kecil di daerah Bogor yaitu: Ciawi, Pondok Gede Cioreg, Cikopo, dan Bolang. Hasilnya pada tahun 1845 telah diekspor teh yang pertama kali dari Jawa ke Amsterdam sebanyak 200 peti. Tahun 1887, dilakukan penanaman teh di Kemuning oleh perusahaan Belanda NV. Cultuur Maatschappij.  Di Karawang Perusahaan perkebunan tersebut hampir semuanya perkebunan karet atau teh pada tahun 1929.

Di Desa Trisobo, tanah-tanah garapan petani hasil membuka hutan, disewa secara paksa oleh pemerintah kolonial Belanda disekitar tahun 1920. 

Pada tahun 1920 petani di seluruh Indonesia mulai menanam kopi sebagai komoditas perkebunan yang diperdagangkan. 

Begitu juga perkebunan kelapa sawit pertama di lokasi pantai timur Sumatra (Deli) dan Aceh yang saati itu luasnya 5.123 hektar. Kisah Perkebunan Deli banyak menarik perhatian para penulis. Pembukaan perkebunan di Deli, Serdang diikuti oleh perluasan ke daerah Langkat, Simalungun, dan Asahan memicu pendirian berbagai perusahaan pendukung lainnya Perkembangan perkebunan yang pesat di Sumatera Timur menjadi dasar pendirian berbagai perusahaan seperti kereta api Deli (Deli Spoorweg Maatschappij/DSM), Deli Tanker Installation, Deli Haven Beheer, telepon, perumahan, dan sewa gudang. Di Pasaman dibangun 1906 diantaranya di  Silayang, Muara Sungai Lolo dan Koto Rajo.

Sedangkan karet ditanami tahun 1912 di Batujamus Karanganyar oleh Gouvernement Landbouw Bedrijven (GLB). Karet pertama kali ditanam di Kalimantan Selatan pada tahun 1904; kira- kira tahun 1920-an, daerah ini menjadi kaya dengan karet. Tahun 1920 – 1927 harga karet dipasaran internasional melonjak. Tertarik akan memperoleh keuntungan yang banyak, penduduk daerah Hulu Sungai merombak sawah mereka menjadi kebun karet. Mengusahakan karet saat itu menjadi salah satu mata pencaharian di samping bertani, menangkap ikan serta mengumpulkan hasil hutan. 

Baca Juga Opini Musri Nauli: Jejak Belanda di Jambi di: Thehok.id


Berita Terpopuler


Copyright © MERDEKAPOST.COM. All rights reserved.
Redaksi | Pedoman Media Cyber | Network | Disclaimer | Karir | Peta Situs