Gus Dur, Tionghoa dan PKB

Oleh : H. A. Halim Iskandar, M.Pd.
Ketua DPRD Provinsi Jawa Timur dan Ketua DPW PKB Jawa Timur

Gus Dur, Tionghoa dan PKB
H A Halim Iskandar

Sebab kalau semuanya ngalor (ke utara), bedanya cendekiawan dengan hansip, lalu apa ? (Gus Dur). Lontaran bernada ironi itu muncul dari lisan Gus Dur ketika mengomentari dirinya yang tak mau masuk Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI).


Sebuah ungkapan yang mengandung filosofi penting bahwa seorang cendekiawan haruslah mau dan mampu melawan arus besar sekalipun, demi nilai-nilai yang dianggap benar. Seperti itulah sikap Gus Dur yang dapat dilihat atas pembelaannya terhadap umat Konghucu, sejak era 1990-an dan tampil dengan kebijakan humanis terhadap etnis Tionghoa ketika beliau menjadi presiden ke-4 RI.

Bagi Gus Dur, diapresiasinya Imlek dan pernik Tionghoa lainnya bukanlah semata-mata sebagai implementasi toleransi atau pluralisme belaka, namun merupakan sense of belonging (rasa saling memiliki), yang dalam konsep keberagamaan aswaja NU, sikap tersebut sebagai pengejawantahan tawassuth.

Di mana tawassuth tidak sematamata dimaknai moderatisme yang diam, tapi tawassuth merupakan jalan progresif yang aktif advokatif. Paradigma tawassuth tidak menjadikan manusia sebagai tukang vonis atas kelabilan negeri ini. Karena itulah, ketika gurita konglomerasi Tionghoa era Orde Baru membuncah, yang memunculkan tindakan diskriminasi dan pengucilan terhadap etnis Tionghoa.

Tibatiba, etnis Tionghoa menjadi musuh bagi sebagian kalangan negeri ini. Lebih ironis lagi, nuansa permusuhan akan semakin dahsyat, jika etnis Tionghoa itu nonmuslim. Karena dalam benak sebagian kalangan utamanya rakyat yang merasakan aroma kesenjangan ekonomi, kesalahan etnis Tionghoa dianggap sudah berlipat-lipat. Dalam kondisi seperti ini, Gus Dur tampil sebaliknya.

Gus Dur justru menjadi teman bagi etnis Tionghoa. Ketika rezim Orba berada di kulminasi kejayaan plus konglomerasi Tionghoa yang beraroma kesenjangan, Gus Dur justru hadir sebagai pembela yang tegar. Tindakan pembelaan diambil Gus Dur, semata-mata agar manusia menjadi ummatan wasathan, umat yang tawassuth, muslim yang bersikap moderat di antara dua kutub ekstremisme beragama, yaitu ekstrememisme keberagamaan yang terlalu eskapis dan ekstremisme keberagamaan hedonis. Muslim yang selalu menjadi saksi hidup nilai Islam moderat yang selalu diperjuangkan agar membumi.

Berdasarkan paham keislaman NU, Gus Dur tidak mempersoalkan identitas partikular. Karena dalam perilaku mumuasyarah (pergaulan) pasti terdapat identitas partikular yang akan menautkan sekelompok orang untuk berkumpul sebagaimana identitas partikular yang dirujuknya itu. Karena itulah, dalam pandangan Gus Dur, eksklusivisme etnis Tionghoa selama Orba bukanlah sebuah persoalan.

Tindakan Tionghoa yang hanya berkumpul dengan sesama Tionghoa atau kawin hanya dengan sesama mereka tak lain hanya bentuk partikularisme semata. Eksklusivitas terasa memanas justru karena etnis Tionghoa dibatasi gerak langkahnya di luar wilayah ekonomi. Di negeri ini, kaum pribumi akrab dengan khazanah Tionghoa yang telah terpatri bukan sebagai the other dalam momentum kehidupan.

Kisah Laksmana Ceng Ho, Kyai Telingsing, dan Adipati Jinbun dalam kronik sejarah menghiasi benak masyarakat banyak. Pernikpernik itu pun digugah Gus Dur dengan penyebutan identifikasi genealogisnya yang kosmopolit sebagai keturunan Tionghoa. Anehnya, publik non- Tionghoa merasa bahwa identifikasi itu hanya bermomentum sepihak bagi etnis Tionghoa dan bukan etnis lain.

Padahal, Gus Dur melalui identifikasi itu sedang membangun integrasi kebangsaan karena selain identifikasinya dengan etnis Tionghoa, di saat sama Gus Dur mengidentifikasi dirinya dengan raja Jawa dan Nabi Muhammad. Identitas genetis raja Jawa dan Nabi Muhammad bukan semata- mata karena Gus Dur orang Jawa atau NU yang sangat cinta Rasul itu kuat di Jawa.

Gus Dur sebenarnya sedang mendekatkan sensitivitas eksklusivitas itu pada emosi stabilisasi kebangsaan. Gus Dur paham kesenjangan itu sebenarnya banyak ditemui di Jawa daripada misalnya di Kalimantan Barat. Di mana di Kalbar, etnis Tionghoa terasa ”akrab” karena tampil dalam berbagai profesi sejak tukang becak sampai pebisnis.

Politik Kebangsaan

Politik kebangsaan PKB pada dasarnya berupaya menampilkan sebaik mungkin sisi positif setiap identitas primordial, lalu menjadikannya sinergis dengan kebangsaan. Prinsip perjuangan partai menegaskan bahwa PKB bergerak berdasar prinsip persaudaraan dan kebersamaan dalam kerangka ahlu sunnah wal jamaah.

Sebagaimana NU, kerangka ini melihat entitas Tionghoa sebagai warga negara yang terikat dalam Darus Sulh (negara sanggah). Darus sulh ala NU ini menarik karena melihat Indonesia sebagai negara yang berhimpun di dalamnya aneka keragaman yang berdiri atas dasar rekonsiliasi (islah). Bagi Gus Dur, PKB jelas beda dengan NU.

Karena PKB sengaja diposisikan sebagai media perjuangan politik NU, PKB kendaraan utama politik nahdliyin, PKB merupakan jalan agar NU menjadi koordinat dalam percaturan nasional. Karena itulah, tujuan politik PKB bukan berarti menempatkan semua orang NU di posisi strategis negeri ini.

Filosofi politik PKB adalah berbagi tempat dengan orang lain asal orang lain itu menyelaraskan diri dengan nilai aswaja. Hal tersebut ditunjukkan Gus Dur ketika berusaha segiat mungkin menarik kader nonmuslim dan muslim non-NU untuk berperan dalam pengelolaan PKB, termasuk etnis Tionghoa, untuk membangun sense of belonging. Artinya, jika kepentingan Tionghoa diperjuangkan oleh orang Tionghoa bersama kader NU maka itulah rasa saling memiliki yang melampaui toleransi.

PKB sejak awal menisbatkan dirinya sebagai partai nasional. Kepentingan nasional menjadi poin juang utama PKB, yang sama pentingnya dengan kepentingan santri. Sesuai nilai aswaja lainnya, At Tawazun, PKB akan berupaya secermat mungkin melihat setiap persoalan anak bangsa dalam kacamata yang tidak berat sebelah. Sesuatu diukur secara adil dalam logika IItidal.

Menarik sekali, kalau konsep keadilan dalam manhaj berpikir NU bukanlah harus berdasar ”Islam murni” ala kaum fundamentalis. NU telah berkomitmen Pancasila adalah matriks nilai kenegaraan di Indonesia. Artinya, Islam yang mengawankan diri seakrab mungkin dengan kebangsaan.

Begitu pun PKB, kelima sila itu ditegaskan sebagai asas partai dan diikuti nilai aswaja sebagai prinsip perjuangan. Menggandeng etnis Tionghoa dalam PKB jelas merupakan cara hidup berorientasi masa depan ala NU. NU dan PKB tak pernah terkejut ketika melihat tokoh-tokoh Tionghoa secara tiba-tiba tampil di dunia politik dan pemerintahan.

Bagi PKB, justru di situlah identitas primordial yang selama ini dimusuhi bisa tampil dan harmonis dengan kebangsaan. Membumikan aswaja yang moderat itu sekali lagi bukan ranah untuk orang NU. Membumikan aswaja itu untuk kepentingan nasional dan PKB adalah institusi yang berupaya membawa aswaja itu dalam daya jangkau lebih luas.

Sebagai penutup, saya teringat kalau almarhum Gus Dur sering diidentikkan dengan Khidir, nabi nyeleneh dalam khazanah Islam. Tentunya kita tahu, kalau Khidir memiliki tiga orientasi. Masa lalu, sekarang, dan masa depan. Ketika membangun rumah roboh, Khidir berorientasi masa lalu. Ketika melubangi perahu, Khidir berorientasi masa kini.

Dan ketika membunuh anak kecil, Khidir berorientasi masa depan. Berkaitan dengan etnis Tionghoa ini, Gus Dur telah melakukannya. Orientasi masa lalu disadarkan Gus Dur dengan seringnya beliau merekam jejak Tionghoa masa lalu, paling sederhana beliau lakukan dengan identifikasi genetisnya itu.

Masa sekarang dimulai sejak Gus Dur mencabut kebijakan yang memasung Tionghoa. Masa sekarang adalah momen di mana Tionghoa dibangkitkan untuk tampil sesuai potensinya masing-masing mulai pebisnis, politisi, intelektual, sampai pejabat pemerintahan. (her/dpw/pkb)

Related Posts

0 Comments:

Posting Komentar





Berita Terpopuler

Copyright © MERDEKAPOST.COM. All rights reserved.
Redaksi | Pedoman Media Cyber | Network | Disclaimer | Karir | Peta Situs