Jejak Hitam di Bukit Tengah

Jejak Hitam di Bukit Tengah

Sumber dari tulisan Jogi Sirait (Wartawan Gatra)
//celotehan dan kisah dari sebuah sudut rasa


Kantor Bupati Kerinci di Bukit Tengah Siulak yang belum selesai dibangun
Bukit Tengah terpilih karena tanahnya hibah. Ternyata, sebagian tak mau menghibahkan dan dipaksa terima ganti rugi. Tiga tahun pembangunan perkantoran tak kunjung selesai. Memilih Bukit Tengah dinilai ahli geologi seperti menggali kuburan sendiri: sangat dekat dengan Gunung Kerinci.  

RABU 15 MEI 2013. Menjelang magrib, satu-dua pekerja sedang merapikan rangkaian besi pada sebuah bangunan berlantai satu. Material masih bertumpuk di kiri-kanan, sebagian  di dalam bangunan. Lengang. Ya, bangunan ini adalah calon kantor bupati. Berada di Bukit Tengah seluas 300 hektare, persisnya di kaki Kecamatan Siulak.

Lima kantor sedang dipoles sejak tahun 2011. Kantor Bupati, sudah masuk tahap kedua. Selebihnya: kantor DPRD, Dinas PU, Bapppeda, dan Kantor DPPKAD (dinas pengelolaan keuangan dan aset daerah) baru tahap pertama.

Kontraktor kantor bupati, Salman, sore itu sedang mengawasi pekerjaan anak buahnya. “Kantor bupati ini rencananya dibangun sampai tiga lantai. Tahun ini, kami akan merampungkan lantai dasar. Tahun depan saya tidak tahu, apa masih dipercaya atau justru jatuh ke tangan kontraktor lain,” kata Salman.

Seorang ahli Geologi di Jambi, Wendy menyesalkan Bukit Tengah dijadikan ibukota sekaligus kawasan perkantoran Pemerintah Kabupaten Kerinci. Bukit Tengah rentan longsor dan berada dalam formasi geologi simbol Ql. Disebut formasi geologi endapan danau yang terdiri dari lanau, pasir, lempung, dan lumpur. “Kondisinya labil,” kata Wendy pada Ahad, 27 Mei lalu.

            Bukit Tengah bersebelahan dengan formasi geologi simbol Qyu atau batuan gunung api atau breksi gunung api, lahar, breksi tuf dan tuf, bersusunan basal sampai andesit. Batuan ini berasal dari Gunung Kerinci dan Gunung Tujuh. Nah, Bukit Tengah adalah limpahan atau buangan dari Gunung Tujuh. Bukit Tengah sangat dekat dengan Gunung Kerinci. Hanya berjarak 9 km dan radius 10 km dari Gunung Tujuh.

            Sedikit saja Gunung Kerinci beraktivitas maka daerah yang sangat rawan atau berdampak paling besar serta paling awal adalah Bukit Tengah ini. Tidak memungkinkan untuk membuat bangunan bertingkat karena mengingat kondisinya yang labil. “Membangun kota di sini sama saja dengan menggali kuburan sendiri. Saya kira sebaiknya Pemerintah Kabupaten mempertimbangkan kembali rencananya dan mengganti dengan lokasi lain,” ujarnya.

            Kekhawatiran Wendy sangat beralasan. Gempa Kerinci pada 7 Oktober 1995 silam telah menyebabkan 84 orang tewas, 558 luka berat, dan 1.319 orang mengalami luka ringan. Korban jiwa terparah akibat gempa berkekuatan 7,0 skala richter itu berada di Desa Siulak Mukai. Desa itu hancur lebur.

            Sebaliknya Bupati Kerinci, Murasman sangat bangga dengan view Bukit Tengah. “Pemandangannya indah sekali. Saya kira, ibukota ini akan menjadi ibukota terindah di Sumatra,” katanya pada Ahad, 5 Mei lalu. Dia juga membantah jika jaraknya sangat dekat dengan Gunung Kerinci. “Jauh, radiusnya sekitar 28 km,” katanya dengan santai.

***

Pasca Kabupaten Kerinci dimekarkan, penentuan lokasi ibukota baru mengalami polemik berkepanjangan. Awalnya, hasil kajian Lembaga Afiliasi Penelitian Indonesia (LAPI) ITB calon ibukota berada di kawasan Renah Pemetik dengan empat alternatif: Bukit Cuguk, Kemantan Darat, Sungai Tutung, dan Pendung Hilir.

LAPI ITB meneliti dari seluruh aspek: tata ruang, arsitektur, geologi, infrastruktur, sosial ekonomi, dan pengembangan. Dari keempat lokasi itu, skor tertinggi berada pada lokasi Bukit Cuguk yang termasuk dalam Kecamatan Danau Kerinci dan Sitinjau Laut. Total skor 755.

Bupati Kerinci kala itu, Fauzi Si’in menerbitkan Keputusan Bupati No. 135.7/Kep.31/2007 tentang Penetapan lokasi calon ibukota Kabupaten Kerinci di Kawasan Renah Pemetik, Kecamatan Siulak.

Dilantik dua tahun kemudian, Bupati Murasman tak terima keputusan pendahulunya. Murasman menggandeng Bappenas untuk mengevaluasi calon ibukota baru. Niat Murasman sempat mendapat penolakan dari sejumlah Anggota DPRD Kerinci. Dalam Berita Acara Rapat tertanggal 14 Juni 2010 disebutkan bahwa DPRD Kerinci tidak pernah mengganggarkan dana apapun sesuai dengan Surat BAPPENAS No. 0119D/DT.9.1/08/2009 tertanggal 5 Agustus 2009 perihal Bantuan Pelaksanaan Evaluasi untuk Lokasi Calon Ibukota Kabupaten Kerinci yang ditandatangani Drs. Dadang Solihin, Direktur Evaluasi Kinerja Pemerintahan Daerah.

Toh, tim Bappenas yang beranggotakan Agus Sutiadi, Andi Erwing, dan Wahyudi Edi jalan terus. Hasilnya, Bappenas merekomendasikan dua lokasi dari empat alternatif lokasi: Siulak dan Sitinjau Laut. Siulak mendapat skor 153 dan total pembiayaan yang terdiri dari pengadaan lahan, pembangunan jalan, jembatan, resetlemen dan pematangan lahan yang butuh dana Rp 17 miliar. Minimnya pembiayaan karena lahannya hibah. Lokasi kedua, Sitinjau Laut hanya mendapat skor 145 dan butuh total pembiayaan Rp 108 miliar.

Atas kajian itu lahirlah Keputusan Bupati Kerinci No. 135.5/Kep.230/2010 tentang Penetapan Lokasi Ibukota Kabupaten Kerinci di Bukit Tengah, Kecamatan Siulak, Kabupaten Kerinci tanggal 8 Juni 2010. Hingga akhirnya, Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2011 tertanggal 18 April 2011 tentang pemindahan lokasi ibukota Kabupaten Kerinci menjadi Kecamatan Siulak diteken Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

***

Poin hibah tanah seluas 300 hektare menjadi poin penting terpilihnya Bukit Tengah menjadi ibukota baru. Hibah tanah dituangkan dalam Surat Pernyataan Hibah tertanggal 19 Oktober 2009 yang diteken segenap pengurus Lembaga Kerapatan Adat Tigo Luhan Tanah Sekudung Siulak yakni 25 Depati, 35 kepala desa, dan 4 camat. Namun surat itu tidak merinci, seperti apa mekanisme hibah.

Salah seorang yang ikut menandatangani, Depati Admiral, mengatakan mekanismenya hanya kesepakatan secara lisan dalam pertemuan di Mesjid Al-Mujahidin. Setiap warga menyerahkan 2/3 bagian tanahnya dan sisanya 1/3 tetap menjadi hak milik. Selain itu, kebun-kebun yang berada di dalam tanah tersebut mendapat uang ganti rugi atau disebut uang ganti tanam.

Berdasarkan Peta Nomor 52 Tahun 2011 yang diterbitkan BPN Provinsi Jambi menyebutkan bahwa kebun-kebun masyarakat beraneka ragam. Ada kopi, karet, kayu manis, cengkeh, tembakau, coklat, jati, lada, kelapa, sawit, sawah, teh, dan tebu. “Kami merasa tertipu. Tak satupun janjinya direalisasikan. Kebun masyarakat sudah dibabat habis, namun hak masyarakat tak diberikan,” kata Admiral pada Ahad, 20 Mei lalu.

Jumlah kepemilikan masyarakat bervariasi. Dari yang hanya beberapa piring sampai berhektare-hektare. Satu piring berukuran 18 x 18 meter atau 324 meter persegi. Admiral kaget saat diberitahu Sekretaris Umum, Depati M. Nasir yang mengaku tanah miliknya seluas 10 hektare.

Menurut Admiral seluruh Depati tidak lagi diikutsertakan dalam proses hibah. Yang hanya diikut sertakan hanya Ketua Umum, Depati Zainal Arifin. Zainal adalah suami dari adik kandung istri Murasman.

Bagi masyarakat yang berani menolak berhasil mendapatkan ganti rugi. “Tapi itupun jumlah sedikit. Paling banyak 10 persen,” kata Admiral. Beraneka ragam pula cara masyarakat menolak tanahnya dihibahkan. Mereka sempat menanam pisang atau memagari jalan menuju komplek perkantoran. Ada yang berhasil namun tak sedikit pula yang gagal.

Ines, 25 tahun, misalnya, mengaku tidak mau menghibahkan tanah milik orangtuanya seluas 10 piring atau sekitar 3.240 meter persegi. “Kami tidak akan mau hibah, kalau orang lain terserahlah. Yang jelas kami tidak,” kata Ines pada Rabu, 15 Mei lalu. Ines kini membuka warung kecil di depan calon kantor bupati.

Menurut Ines, bupati pernah menawarkan dua pilihan: menerima ganti rugi sebesar Rp 300 juta atau Ines bersama 3 saudara kandungnya menjadi PNS. “Kalau duit kan bisa habis, makanya kami pilih menjadi PNS. Namun sampai sekarang belum satupun di antara kami yang diangkat menjadi PNS,” katanya. Namun Ines yakin Murasman tak akan bohong. Dia masih paman ibunya.

Lain halnya dengan M. Nasir, 50 tahun. Kebun kulit manisnya seluas 10 piring langsung dibabat kontraktor yang mengerjakan Taman Bunga pada tahun lalu. Proyek Taman Bunga ini menelan biaya Rp 1,5 miliar dan disebut-sebut dikerjakan Linda, menantu Murasman. Proyek ini kabarnya tak lewat tender. Main tunjuk langsung.


Taman Bunga
“Karena terlanjur sudah dibabat, mau tidak mau saya menerima uang ganti rugi Rp 10 juta. Yang membayar langsung Edmon (suami Linda) karena dia yang mengerjakan proyek taman itu,” kata M. Nasir pada Rabu, 15 Mei lalu. Nasir juga mau terima ganti rugi karena putranya Nodi dijanjikan menjadi pegawai di Dinas Lingkungan Hidup. Namun janji tinggal janji. Berkas sudah dimasukkan, tetapi Nasir masih tetap menjadi tukang parkir di sekitar taman.

Menurut Murasman, sebelum menentukan Bukit Tengah, dirinya sudah memanggil tokoh-tokoh masyarakat di 7 kecamatan. Hanya Kecamatan Siulak yang bersedia menyerahkan tanah secara hibah karena pemerintah tak punya dana untuk membebaskan lahan.

“Kalau ada masalah, itu urusan ninik mamak. Saya hanya penerima hibah. Tidak ada urusan sama saya. Lagi pula itu tanah sebenarnya tanah adat yang sudah dimiliki secara turun temurun,” katanya.

 Tanah adat? Admiral bilang se-Kabupaten Kerinci tak ada lagi tanah adat. Yang ada tanah masyarakat. “Asal ngomong saja Murasman itu,” katanya.

Wakil Ketua DPRD, Irmanto sejak tahun lalu sudah mengingatkan Kepala Dinas PU Kerinci, Untung Yasril. “Ingat Pak Untung. Saya ini punya catatan. Sudah 15 kantor yang kami anggarkan di Bukit Tengah. Akhir tahun 2012, paling tidak sudah ada kantor yang pindah ke sana,” kata Irmanto, 38 tahun, pada Senin, 20 Mei lalu.


Irmanto, wakil ketua DPRD Kerinci
Sejak tahun 2010 hingga 2013, seingat Irmanto, DPRD Kerinci sudah mengalokasikan dana Rp 20 miliar. Kenyataannya, belum satupun kantor yang selesai dibangun. Kantor bupati, dianggarkan Rp 2,2 miliar dan belum selesai-selesai. “Memangnya butuh dana berapa sih bangun satu kantor? Ini belum selesai-selesai juga tapi minta tambah dana terus. Apa mau sampai Rp 1 triliun baru selesai?” tanyanya.

Irmanto juga telah menganggarkan uang ganti rugi tanaman masyarakat sejak tahun 2011 hingga 2013. Namun dia tidak tahu persis apakah dana tersebut dibayarkan kepada masyarakat atau tidak. “Nilainya saya tidak ingat,” kata Irmanto.


Dalam Laporan Keterangan Pertanggung Jawaban (LKPJ) Bupati Tahun 2012 menyebutkan bahwa fisik pembangunan lima kantor itu sudah terealisasi 99,52 persen dan menyerap dana di tahun itu sebesar Rp 9,5 miliar. Saya mencoba mengecek data ini kepada Sekwan. Pintu ruangan langsung ditutup rapat. “Maaf, Pak soal itu silakan konfirmasi dengan humas,” kata ajudannya.

***

)***Versi lebih pendek dimuat di GATRA Nomor 31 Beredar Kamis, 6 Juni 2013

Related Posts

0 Comments:

Posting Komentar


Berita Terpopuler


Copyright © MERDEKAPOST.COM. All rights reserved.
Redaksi | Pedoman Media Cyber | Network | Disclaimer | Karir | Peta Situs