Malaysia Lockdown Diberlakukan, Seberapa Efektif Hambat COVID-19?

Pekerja berpakaian pelindung mendisinfeksi sebuah kompleks perumahan di Wuhan, pusat penyebaran virus corona, provinsi Hubei, Cina, 6 Maret 2020. Cina memberlakukan lockdown di provinsi Hubei, yang saat ini mulai melonggar karena wabah berhasil dikendalikan, hingga hari ini terdapat 80,995 kasus, dengan 3,203 korban dan 67004 pasien pulih. REUTERS/Stringer
Jakarta - Malaysia Lockdown telah menyebabkan kepanikan berbelanja atau panic buying warga di tengah melonjaknya kasus virus Corona atau COVID-19 di Negeri Jiran.

Sementara Prancis baru saja memberlakukan lockdown-nya bersamaan dengan deklarasi perang Presiden Emmanuel Macron terhadap virus Corona. Malaysia dan Prancis adalah yang negara terbaru yang memberlakukan lockdown.

Negara-negara Eropa barat telah memberlakukan lockdown dan kini 100 juta orang dipaksa tinggal untuk menghambat penyebaran, ketika korban meninggal virus Corona di Italia menembus angka 2.000, menurut Daily Mail.

Lockdown, atau yang bisa dipadankan dengan penguncian, berbeda dari satu negara dengan negara lain, meski secara umum sama: warga diminta tinggal di rumah dan pergerakan mereka dibatasi, hanya boleh keluar untuk keperluan mendesak seperti membeli makanan, perawatan medis, atau melakukan pekerjaan vital.

Lockdown adalah tindakan yang "keras dan drastis" tetapi jika dilaksanakan dengan benar dapat menghentikan penyebaran COVID-19 di Malaysia, menurut kepala eksekutif Pusat Kebijakan Kesehatan dan Sosial Galen, Azrul Mohd Khalib, dikutip dari Free Malaysia Today.

Azrul Mohd Khalib mengatakan lockdown masih bisa dihindari di Malaysia jika pihak berwenang bertindak tegas untuk menghentikan semua pertemuan dan acara publik selama setidaknya satu bulan.

Jumlah kasus COVID-19 di Malaysia telah meningkat menjadi 553 kasus, dengan 125 kasus baru dilaporkan, dan kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang menghadiri tabligh akbar di Sri Petaling dua minggu lalu.

Pelanggan, mengenakan masker pelindung, mengantre untuk membayar di supermarket, di Kuala Lumpur, Malaysia 15 Maret 2020, setelah meningkatnya kasus virus Corona.[REUTERS]
Menurut Mashable, pada dasarnya lockdown adalah pembatasan empat hal: melarang pertemuan di tempat umum seperti pernikahan dan acara lain; menutup sekolah dan kampus untuk pembelajaran online; melarang penerbangan masuk dan keluar negeri; dan membatasi pergerakan warga. Tujuannya adalah untuk menghambat penyebaran epidemi atau pandemi.

Semua aktivitas publik yang melibatkan lebih dari sejumlah orang tertentu akan dilarang, dan ini termasuk tempat ibadah berjamaah.

Azrul mengatakan pemerintah dapat bertindak tegas dengan membatasi pergerakan orang, mendorong mereka untuk bekerja dari rumah dan secara tegas menegakkan jarak sosial atau social distancing. Namun, social distancing terlambat jika virus sudah menyebar di antara masyarakat.

Cina adalah yang pertama memberlakukan lockdown secara radikal disertai dengan dukungan medis, dan pembangunan fasilitas perawatan secara tergesa-gesa.

Cina telah memberlakukan pembatasan ketat pada gerakan dan kegiatan 59 juta orang di Wuhan dan bagian lain dari provinsi Hubei pada Januari, intervensi kesehatan masyarakat yang dilakukan pemerintah pada skala besar yang belum pernah terjadi sebelumnya, kata WHO, dikutip dari NBC.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan memperlambat penyebaran virus memberi waktu bagi sistem kesehatan untuk bersiap.

"Sistem kesehatan bahkan dengan sejumlah kecil kasus sudah berjuang," kata Dr. Michael Ryan, direktur eksekutif Program Kedaruratan Kesehatan WHO. "Tindakan pengendalian dan pengendalian memperlambat penyakit."

Pentingnya memperlambat laju kasus baru, yang oleh para ahli kesehatan masyarakat disebut "meratakan kurva epidemiologis," disarankan oleh WHO baru-baru ini. Selama tahap awal epidemi di Wuhan, ketika rumah sakit kewalahan dengan kasus-kasus baru, tingkat kematian adalah 5,8 persen, dibandingkan dengan 0,7 persen di tempat lain di negara itu, menurut laporan majalah The New Yorker.

Tentara Italia memeriksa dokumen perjalanan pengemudi, pada hari keenam lockdown di seluruh wilayah Italia di Naples, Italia 15 Maret 2020. Berdasarkan data John Hopkins University, di Italia terdapat 21,157 kasus positif virus corona, dengan 1,441 korban dan 1,966 pasien sembuh. REUTERS/Ciro de Luca
Ahli epidemiologi cenderung berbicara tentang dua paradigma yang berbeda untuk membatasi tingkat infeksi. Yang pertama, dikenal sebagai penahanan, yang digunakan pada awal wabah. Ini melibatkan pelacakan penyebaran penyakit dalam suatu masyarakat, dan kemudian menggunakan isolasi dan karantina individu untuk menjaga orang-orang yang telah terinfeksi oleh atau terkena penyakit dari penyebarannya.

Menurut Caitlin Rivers, seorang ahli epidemiologi di Johns Hopkins, alasannya ingin menemukan orang-orang terinfeksi lebih awal adalah untuk memastikan bahwa mereka tetap keluar dari lingkaran masyarakat dan juga untuk memastikan bahwa mereka mendapatkan perawatan yang dibutuhkan.

Kedua adalah pelacakan kontak pasien, yang memakan waktu dan tenaga. Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Eropa, memperkirakan bahwa akan membutuhkan waktu sekitar ratusan orang per jam kerja untuk melacak kontak dari masing-masing kasus yang dikonfirmasi. Tetapi jika dilakukan dengan cepat, dan pada skala yang tepat, metode ini bisa efektif. Pengendalian, ditambah dengan penutupan sekolah dan beberapa strategi yang disebut social distancing, tampaknya telah membatasi penyebaran COVID-19 di Hong Kong dan Singapura, menurut The New Yorker. Tetapi negara-negara itu memulai upaya mereka ketika wabah masih dalam masa pertumbuhan.

Intervensi semacam itu dapat efektif dalam memperlambat penyebaran virus, bersama dengan pengujian virus yang luas menyeluruh, seperti yang dilakukan Korea Selatan.

Pengalaman Cina dan Italia dengan COVID-19 menunjukkan bahwa gabungan dua paradigma respons epidemiologis akan menghasilkan lockdown. Meski demikian, masih banyak pertanyaan tentang aspek medis, ekonomi, dan hukum terkait lockdown.


Taiwan adalah negara yang mampu menghambat penyebaran COVID-19 secara efektif tanpa lockdown, meski kasus baru masih bermunculan. Straits Times melaporkan 8 kasus baru di Taiwan pada Senin, menjadikan total kasus 67.

Negara pulau ini hanya 130 km dan penerbangan singkat dari daratan Cina, tempat COVID-19 bermula.

Dari 100 lebih negara dan teritori yang terkena dampak virus Corona, Taiwan memiliki tingkat kejadian per kapita terendah atau sekitar 1 dalam setiap 500.000 orang, untuk tempat yang terletak sangat dekat dengan Cina daratan dan lalu lintas pengunjungnya, menurut NBC News.

Taiwan langsung siaga ketika mendengar laporan pneumonia akut mirip SARS. Meski Taiwan memiliki masalah diplomatik dengan Beijing, mereka meminta dan menerima tim ahli pada 12 Januari.

Tak lama setelah tim kembali, Taiwan mulai meminta rumah sakit untuk menguji dan melaporkan kasus. Ini membantu pemerintah mengidentifikasi mereka yang terinfeksi, melacak kontak mereka dan mengisolasi semua orang yang terlibat, mencegah virus Corona menyebar ke masyarakat.

Semua ini terjadi jauh sebelum Taiwan mengkonfirmasi kasus pertamanya pada 21 Januari dan ketika seluruh dunia belum waspada.

Tindakan lain Taiwan adalah membentuk pusat komando pengendalian epidami. Setelah kasus pertama dilaporkan pada 26 Januari, Taiwan mulai melarang kedatangan pengunjung dari Wuhan.

Setelah mengamankan perbatasan, Taiwan menggunakan teknologi untuk melacak virus. Alat pemantau suhu dipasang di tiap bandara setelah wabah SARS 2003.

Warga Taiwan menjalani pemeriksaan kesehatan sehubungan wabah virus Corona atau COVID-19. [TAIWAN NEWS]
Bersamaan dengan pencegahan, pemerintah Taiwan secara aktif memastikan ketersediaan suplai alat pelindung dan bahkan mengatur harga agar tidak melonjak, dan juga edukasi publik terkait virus Corona.

Setiap gedung kantor, sekolah, dan pusat olahraga, dilakukan pengukur suhu dan mencegah mereka yang demam. Bangunan apartemen juga menempatkan pembersih tangan di dalam atau di luar lift.

Taiwan tampaknya telah belajar dari wabah SARS 2003 di mana epidemi ini membunuh 73 warganya dan mengganggu ekonomi Taiwan. Gerak cepat Taiwan telah membuatnya tak memerlukan lockdown yang merupakan tindakan pamungkas jika wabah terlanjur menyebar.

Amerika Serikat, sejumlah negara Eropa dan Asia, telah memberlakukan lockdown penuh atau sebagian, dengan menutup ruang publik dan membatasi warganya. Ini adalah pilihan terakhir karena terlambat memerlakukan tindakan dini antisipasi COVID-19. Namun, Caitlin Rivers dari John Hopkins mencatat, lockdown virus Corona memiliki konsekuensi karena membebani orang-orang yang rentan secara ekonomi dan sosial.

(ald/TEMPO.CO)

Related Posts

0 Comments:

Posting Komentar


Berita Terpopuler


Copyright © MERDEKAPOST.COM. All rights reserved.
Redaksi | Pedoman Media Cyber | Network | Disclaimer | Karir | Peta Situs