Tak Periksa Pelanggaran Serius, MK Dinilai Hanya Akan Jadi Mahkamah Kalkulator

Tak Periksa Pelanggaran Serius, MK Dinilai Hanya Akan Jadi Mahkamah Kalkulator
Gedung Mahkamah Konstitusi
JAKARTA - Setara Institute mengusulkan agar Mahkamah Konstitusi mengadopsi kembali kewenangan memeriksa pelanggaran serius yang terstruktur, sistematis, dan masif terkait pelaksanaan pemilihan kepala daerah. Kewenangan tersebut sudah hilang setelah MK memutuskan bahwa perselisihan hasil pemilihan umum kepala daerah bukanlah kewenangan limitatif MK.

Keputusan ini diambil sebagai buntut dari kasus korupsi penanganan sengketa pilkada yang menjerat Akil Mochtar ketika menjadi Ketua MK.

"Mahkamah Konstitusi harus mengadopsi kembali kewenangan memeriksa pelanggaran serius sesuai konsep TSM (terstruktur, sistematis, dan masif. Hal ini bisa dilakukan dengan mengubah Peraturan Mahkamah Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota," kata Direktur Riset Setara Institut Ismail Hasani dalam jumpa pers di Jakarta beberapa waktu yang lalu.

Kini, MK hanya akan mengadili sengketa terkait dengan selisih suara hasil perhitungan Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD). Menurut Setara, kewenangan MK yang terbatas mengadili sengketa terkait selisih suara tersebut hanya akan menjadikan MK layaknya mahkamah kalkulator.

"MK akan fokus jadi mahkamah kalkulator karena tegas hanya mengadili sengketa, tidak periksa potensi kecurangan yang terjadi walau berdampak pada hasil pilkada. Ini kemunduran dalam pemilihan kepala daerah, padahal MK bertugas memastikan demokrasi berjalan sesuai konstitusi," ucap Ismail.

Proses pengadilan sengketa pilkada, kata Ismail, nantinya hanya sekadar basa-basi jika tidak menelisik kemungkinan adanya kecurangan di balik kemenangan calon tersebut. "Dulu kerbau dibawa ke MK karena dijadikan suap. Jangan dibayangkan ada pemilihan ulang besok, atau jangan bayangkan orang bisa menang lebih karena MK tidak lihat bukti kecurangan itu," sambung dia.

Di samping itu, Setara mengkritisi persoalan ambang batas selisih suara sebagai syarat pengajuan gugatan ke MK. Berdasarkan undang-undang, pasangan calon dalam pilkada boleh mengajukan gugatan ke MK jika selisih perolehan suara dengan pasangan lawannya berkisar pada angka 0,5 persen hingga 2 persen. Namun, jika selisih perolehan suaranya lebih dari itu, gugatan tersebut patut ditolak.

Menurut Ismail, ambang batas perolehan suara yang tipis tersebut mengesankan bahwa pembentuk undang-undang menganggap penyelenggara pilkada pasti bekerja optimal sehingga minim kekurangan.

"Ketentuan itu tidak masuk akal, penyelenggara pemilu dianggap seperti malaikat yang margin error-nya 0,5 hingga 2 persen" ucap Ismail.

Ia juga menilai bahwa aturan ini membuka peluang bagi petahana atau keluarga petahana untuk melakukan kecurangan dengan menaikkan selisih perolehan suara sehingga lebih dari 2 persen. Di lain pihak, aturan ini dinilai mampu mengurangi jumlah perkara yang masuk ke MK sehingga beban sembilan hakim MK pun berkurang.

"Karena jarang sekali perolehan suara memiliki selisih yang sangat tipis sebagaimana ditentukan dalam peraturan di atas," kata Ismail. (kompas.com/icha/ald)

Related Posts

0 Comments:

Posting Komentar

Berita Terpopuler

Copyright © MERDEKAPOST.COM. All rights reserved.
Redaksi | Pedoman Media Cyber | Network | Disclaimer | Karir | Peta Situs