Dinasti Politik
Tumbuh Subur Sebagai Kekuatan Politik Kekuasaan
(Gerakan social anti
permainan Dinasti Politik)
Oleh Syamsul Bahri,
SE
Kita harus menyadari bahwa
Dinasti politik tidak muncul dengan sendiri, ada beberapa factor pendukung
antara lain munculnya Era reformasi yang dimulai semenjak tahun 1988 dan
sekaligus sebagai era disentralisasi di wilayah Provinsi dan Kabupaten/Kota di
Indenesia (kecuali daerah istimewa dan daerah khusus), munculnya Pemilihan
secara langsung Kepala Daerah, dan saat itu secara bertahap fenomena dinasti
politik di tingkat daerah muncul dengan baiknya.
Dengan disentralisasi
tersebut yang sesungguhnya bertujuan untuk meningkatkan daya saing daerah dalam
mengelola potensi dan kekayaan daerah dalam mensejahteraakan rakyat dan
meningkat pembangunan daerah masing-masing, maka mulai bermunculan elit-elit
lokal yang berusaha untuk menguasai daerah tersebut (Effendi, 2018).
Dengan masa jabatan yang
tersisa sudah diperjuangkan oleh masing-masing Kepala daerah bahkan tidak
menutup perjuangan untuk meneruskan perjuangan sebagai Pimpinan daerah. Walaupun
masa jabatan Kepala hanya 2 periode namun akan mendorong Kepala daerah dan kerabatnya/keluarganya
untuk maju melanjutkan kekuasaan agar kekuasaan tetap berada di tangan keluarga/kerabatnya.
Tentunya proses untuk
melanjutkan kepemimpinan tetap melalui jalur demokrasi, namun jalur demokrasi
yang lebih banyak dirancang dan direkaya agar kepemimpinan dapat dilanjutkan
melalui dinasti politik kekuasaan, yang dimulai dari kekuasaan yang telah dan
akan dimiliki dengan memanfaatkan potensi dan kekayaan yang ada di wilayah
tersebut, baik kekayaan Sumber Daya Alam, potensi kekayaan pengadaan barang dan
jasa proyek, bahkan petensi SDM ASN dan Birokrat serta pengusaha daerah, bahkan
potensi Politikus dan Partai Politik di daerah .
Pemanfaatan tersebut
dimulai semenjak pra Pemilu-KADA (saat kekuasan tahap awal), saat rekrutmen Bakal Calon Kepala Daerah
melalui Politikus dan Partai Politik, tahapan Pemilu-KADA, sampai pasca Pemilu-KADA
bahkan sampai pada tahap kekuasaan akan terus dan terus berjalan sebagai sebuah
Dinasti Politik kekuasaan yang kerkesinambungan, dengan cakaran dan kekuatan
keluarga/karabat semakin dalam dan semakin berkuasa, termasuk masalah jual beli
jabatan.
Kondisi ini jika terus
berjalan secara Terstruktur, Sistimatis, dan Masif (TSM), yang sesungguhnya
memang diakui secara hukum tidak ada yang dilanggar dan sesuai dengan HAM,
namun secara etika tidak baik karena dapat menyebabkan ketidak adilan dalam
distribusi kekuasaan politik, bahkan akan mencederai semangat dari demokrasi
dimana kekuasaan politik harus didistribusikan secara merata kepada masyarakat.
Kontestasi politik
yang langsung, umum, bebas dan rahasia
serta jujur dan adil (luber dan jurdil) yang bertujuan sesuai tujuan dan arah
demokrasi, menjadi impian masyarakat Indonesia dalam Pemilu-KADA, justru
cenderung dipengaruhi oleh sistem kepentingan keluarga, mulai dari proses
pencalonan hingga kemenangan tersebut dilakukan dengan berbagai macam cara asal
keluarga yang berkuasa. Ini bukanlah yang pertamakali dalam praktik dinasti
politik, sudah menerapkan dinasti politik yang mengancam demokrasi.
Pemilu-KADA serentak
tanggal 9 Desember 2020 menjadi hangat diperbincangkan saat ini, justru membuat dinasti politik di daerah
semakin mencuat. Sejumlah nama yang bemungkinkan dinamakan baca-Kada yang
berasal dari Dinasti Politik mulai gencar didengung-dengungkan sampai pada saat
mendapat rekomendasi dan rencana rekomendasi dari DPP yang saat ini sedang
hangat-hangatnya, tentunya bebekal eksistensi orang tua yang berkuasa dalam
pemerintahan, membuat mereka percaya diri untuk maju sebagai bakal calon.
Dinasty politik tersebut
bukan hanya dari anak Bupati atau wali kota, gubernur bahkan sampai
anak/keluarga Presiden dan wakil Presiden percaya diri untuk maju sebagai Bakal
Calon Kepala Daerah, yang yakin dengan eksistensi orang tua akan mendapat
pengaruh dalam proses baik pasca, rekrutmen, Pilakada bahkan Pasca Pemilu-KADA.
Dinasti Politik bukan sesuatu yang baru dalam politik kekuasaan di
Indonesia, praktik ini diartikan sebagai kekuasan yang dijalankan sekelompok
orang yang masih memiliki hubungan keluarga, baik keturunan, ikatan perkawinan,
hubungan darah maupun sanak saudara. Dinasti politik lebih identik demokrasi
yang berbasis dengan kerajaan, sedangkan demokrasi hanya sebuah rekayasa system
untuk mewujudkan sebuah Dinasti kekuasaan, karena kekuasaan akan diwariskan
secara turun temurun. Namun Indonesia sendiri menganut sistem demokrasi,
sehingga dinasti politik sangatlah tidak tepat jika diterapkan.
Disadarioleh kita semua,
setiap orang memiliki kesempatan yang sama
untuk ikut serta dalam kontestasi politik, begitupula untuk mengakses
jabatan publik baik sebagai Gubernur, Bupati maupun Walikota. Namun demokrasi
melalui Pemilu-KADA serentak yang seharusnya memberikan kesempatan lebih luas
bagi banyak orang, justru sebaliknya menumbuh suburkan dinasti politik
didaerah.
Dari banyak sumber dan
reference bahwa Dinasti politik, dengan pola yang ada, cenderung kekuasaan mereka
yang terlibat dalam lingkaran dinasti politik sering menyalahgunakan kekuasaan,
menyalahgunakann amanah dan jabatannya. Bahkan ketika sudah tidak lagi menjabat
lagi, mereka tetap bisa mengendalikan pemerintahan lewat anggota keluarganya
yang juga menjabat dalam instansi pemerintahan, sehingga peluang dan potensi
KKN serta pemiskinan di tingak masyarakat sangat besar dan tercipta.
Jika kita kaji secara
konstitusi bahwa dinasti politik dianggap sesuatu yang syah dan wajar secara
hukum dan kecenderungan tidak bisa terelakan, maka pengawasan terhadap
aktivitas Dinasti Politik dari penyelenggara terutama yang membidangi hukum dan
pengawasan secara ketat seperti Banwaslu dan Lembaga Independent lainnya serta
Lembaga penegak hukum, termasuk KPK harus sudah dari awal proses mulai
melakukan pengawasan terutama pada wilayah yang memiliki indikasi adanya
Politik Dinasti dalam Pemilu-KADA, baik dalam proses persiapan yang memainkan
semua potensi yang ada dalam kekuasaannya, rekruitmen oleh Partai Politik yang
rentan dengan Mahar, Money serta Cast Politik, sampai pada saat pelaksanaan dan
pasca pelaksanaan, agar biaya politik bisa ditekan sehingga setiap warga
memiliki kesempatan untuk mencalonkan dalam kontestasi politik dan menjadi
pejabat publik yang adil.
Suatu daerah jika kita
bicara secara jujur, bahwa masyarakat membutuhkan dan memerlukan pemimpin yang terpilih
dengan cara system demokrasi yang benar benar berdasarkan demokrasi sesuai
tujuan demokrasi itu sendiri untuk memimpin suatu daerah atau wilayah. Pemimpin
yang terpilih sesuai dengan aspirasi rakyat, bukan aspirasi keinginan Parartai
Politik dan koalisiya, yaitu Kepala Daerah yang amanah, yang akan mendengar dan
mementingkan suara rakyatnya dibanding kepentingan partai politik, pribadi dan
kelompok dan elite. Diharapkan juga menciptakan pemerintahan yang bersih dari KKN
dan dapat dipercaya oleh rakyatnya.
Sehingga secara hukum
Dinasti Politik sesuatu yang syah dan legal, namun secara etika tidak layak dan
tidak etis, apalagi track record calon dari dinasti politik cenderung sangat
lemah, disamping indikasi demokrasi berbasis kerajaan, dan dampak negative
sebagaimana dari banyak reference akibat Dinastii politik yang mengancam
kesejahteraan masyarakat, maka solusi yang paling tepat, adanya Gerakan social
secara nasional untuk menolak Dinasti politik dan pengawasan dan pemantauan
secara khusus oleh pemerintah dan penyelenggara terhadap pelaksaaan Pemilu-KADA
yang berindikasi adanya calon barbasis Dinasti Politik, sekali upaya hukum yang
tegas dan melekat untuk menghentikan kegiatan yang memiliki indikasi memainkan
money politik.
)*penulis adalah pengamat politik provinsi Jambi tinggal di Sungai Penuh
0 Comments:
Posting Komentar