Opini: Pilkada, Penguasa dan Money Politik

Oleh: Oga Gandradika Oktavora, SE

Masyarakat kembali bersiap menghadapi gelaran pilkada serentak 2020. Sesuatu yang membuat kita semua diliputi kekhawatiran dan rasa waswas karena Pilkada serentak tahun 2020 ini ditengah pandemi Covid-19. Namun, keputusan (politik dan hukum) telah diambil dan semua pihak harus menanggung risiko. Tentu dengan mengoptimalkan protokol kesehatan yang sudah ditetapkan pemerintah sebagai upaya proteksi terhadap kemungkinan penularan Covid-19.  

Penyelenggaraan pilkada di tengah pandemi kemudian membuat perhelatan tersebut bertambah jenis kerawanannya. Tidak hanya rawan dari hal lain selain tahapan pemilu (nonelektoral) karena faktor wabah, tetapi juga secara teknis dan politis. Ini bisa dilihat dari temuan indeks kerawanan pemilihan (IKP) yang dipublikasikan pada Februari dan update IKP setelah wabah yang dirilis Juni 2020. Pada IKP yang dirilis di awal tahapan pilkada, dua isu yang cukup menonjol dalam menyumbang kerawanan pilkada adalah netralitas aparatur sipil negara (ASN) dan politik uang (money politics). Daerah dengan indeks kerawanan tertinggi di Indonesia yaitu Kota Sungai Penuh yang juga akan melaksanakan Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota pada tanggal 9 Desember nanti. 

Rilis terbaru yang dikutip dari laman Bawaslu pada tanggal 6 Desember lalu, Kota Sungai Penuh menempati posisi kedua setelah Manokwari. 

Pilwako Sungai Penuh

Kota Sungai Penuh yang memiliki 68.097 mata pilih ini mendapat predikat daerah yang rawan dalam ajang Pilkada dengan indikator netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN) dan juga Politik uang (Money Politik).  

Pilkada di Sungai Penuh diikuti oleh 2 pasang Calon, yaitu Ahmadi Zubir-Alvia Santoni dan Fikar Azami-Yos Adrino.  

Pasangan nomor urut 1 Ahmadi Zubir-Alvia Santoni diusung oleh 3 Partai Politik, yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) dan Partai Beringin Karya (BERKARYA). Pasangan ini berlatar belakang Akademisi, Ahmadi adalah Ketua Perguruan Tinggi, Alvia Santoni sendiri juga merupakan Ketua Perguruan tinggi di Sungai Penuh.  

Pasangan nomor urut 2 Fikar Azami-Yos Adrino berlatar belakang Politisi, Fikar adalah Ketua DPC Partai Demokrat Sungai Penuh yang juga anak kandung dari Walikota Sungai Penuh yang sekarang masih menjabat, Asafri Jaya Bakri (AJB). Sdangkan Yos Adrino adalah Pengurus DPD Partai Amanat Nasional Provinsi Jambi.  

Setidaknya ada enam indikator dalam IKP 2020 yang merekam praktik politik uang. Keenamnya adalah (dimensi sosial politik) pemberian uang/jasa ke pemilih untuk memilih calon tertentu saat masa kampanye, pemberian uang/barang/jasa ke pemilih untuk memilih calon pada masa tenang, pemberian uang/barang/jasa ke pemilih untuk memilih calon pada saat pemungutan suara, (dimensi kontestasi) politik uang kepada pemilih untuk memilih calon tertentu, mahar politik, dan politik uang kepada tokoh untuk memilih calon tertentu.  

Meski hanya menangkap gejala (indikasi) di permukaan, temuan IKP 2020 tersebut memperkuat temuan para ilmuwan politik seperti Hicken (2007), Sumarto (2009), Aspinal dan Sukmajati (2014), Muhtadi (2018), serta Aspinal dan Berenscot (2019) mengenai praktik politik uang. Kerentanan masyarakat terhadap politik uang makin parah karena dampak Covid-19 yang menimbulkan krisis ekonomi seperti pemutusan hubungan kerja, lesunya aktivitas usaha masyarakat, dan terhentinya operasi banyak pabrik yang mengakibatkan pengangguran. Tekanan ekonomi itu menjadi sangat potensial bagi terjadinya praktik politik uang, meminjam istilah Muhtadi (2018) bahwa di situ ada supply dan demand. Atau adanya pertukaran (vote buying) karena manfaat timbal balik antara pemilih dan calon (Aspinal dan Berenscot, 2019).  

Gejala itu misalnya tampak dalam beberapa laporan media dan juga terekam dalam temuan Bawaslu mengenai politisasi bantuan sosial yang terjadi dalam periode kedaruratan Covid-19 di sejumlah daerah. Situasi wabah ini, biasanya potensial dijadikan oleh pasangan calon, khususnya para petahana (incumbent).  

Aspek Hukum  

Jika mencermati statistik putusan pengadilan terhadap praktik politik uang dalam dua event pemilihan, yaitu pilkada 2018 dan Pemilu 2019, terjadi peningkatan dari 22 kasus pada pilkada 2018 menjadi 82 kasus pada Pemilu 2019. Tentu peningkatan statistik putusan pengadilan bagi praktik politik uang menjadi hal yang positif. Dan pasti membuat harapan publik jadi tinggi terhadap hal yang sama pada tahun ini.  

Tetapi, perlu juga dipahami, antara rezim pemilu dan pilkada memiliki konsep-konsep, norma, dan pengaturan yang berbeda sehingga dalam penerapannya juga berbeda. Meski demikian, terdapat hal-hal yang misalnya dalam rezim pilkada mengatur lebih tegas. Itu bisa dilihat dari unsur pelaku politik uang yang dalam pasal 187A UU Pilkada menyebut setiap orang. Sedangkan dalam UU 7/2017, politik uang dibagi ke dalam sub tahapan, yaitu di masa kampanye unsurnya pelaksana kampanye, di masa tenang adalah tim dan pelaksana kampanye, dan di hari pemungutan suara adalah setiap orang.  

Upaya tersebut harus dilakukan bersama-sama dengan masyarakat sipil, perguruan tinggi, tokoh agama, dan partai politik untuk membangun pilkada berintegritas. Sejumlah inisiatif kerja sama juga harus dibangun bersama KPK, Komnas HAM, KASN, KPI, Pers, Kemenkominfo, dan lembaga-lembaga lainnya.  

Artinya, harus kesadaran publik terkait upaya melawan politik uang sebagai kejahatan dalam pemilu/pilkada. Hal lain yang harus dilakukan adalah dengan gairah patroli pengawasan yang dilakukan di seluruh daerah pada hari tenang. Meski belum menjawab keseluruhan masalah politik uang, usaha bersama melawan praktik politik uang harus kita kuatkan. Pengawasan atas potensi praktik politik uang dalam tahapan pilkada tentu menjadi objek yang diawasi khusus. Sebab, kejahatan politik uang mempunyai daya ledak yang sangat tinggi dan merusak kemurnian demokrasi.  

Tentu situasi tersebut jadi tantangan bagi kita semua dalam melakukan upaya optimal, terutam di Kota Sungai Penuh ini baik dari sisi pencegahan, pengawasan, maupun penindakan.  

Kalau kita semua menginginkan Pemilu yang berintegritas, katakan tidak untuk Politik Uang (Money Politik). 

*Penulis adalah wartawan

Opini: Lawanlah Yang Berotak, Bukan Kotak

Oleh : Oga Gandradika Oktavora, SE

Pada pemilihan kepala daerah (pilkada) pada 9 Desember 2020 mendatang, sejumlah calon tunggal di 31 daerah seperti  di Medan, Solo, Makassar, Kediri, Blitar, Sungai Penuh dan berbagai kabupaten-kota lainnya diprediksi berpotensi melawan kotak kosong.

Kondisi ini cukup memprihatinkan. Karena bisa menjadi preseden buruk bagi Pilkada dan demokrasi di Indonesia.

Pilkada adalah kompetisi tentang visi dan misi antar Calon kepala daerah. Banyaknya calon tunggal tersebut menyebabkan tidak terwujudnya substansi pilkada.

Karena yang dihadapi kotak, kotak artinya dia tidak punya otak, dia tidak punya visi dan misi, padahal kita punya penduduk terbesar, empat terbesar dunia.

Adanya kemungkinan calon tunggal di daerah 31 daerah tersebut membuktikan bahwa upaya untuk melakukan pendidikan politik, dan demokasi tersebut telah mengalami pasang surut dalam memilih pemimpin masa depan.

Dan ini juga sebagai pertanda demokrasi itu tidak sehat. perlu adanya terobosan yang dilakukan melalui undang-undang yang berkaitan pilkada atau pemilu.

Kian banyaknya calon tunggal tanda demokrasi yang tidak sehat. Turunkan threshold untuk pilkada itu salah satu cara. Syarat 5-10 persen kursi sudah cukup. Itu memudahkan banyaknya partai mencalonkan pasangan.

Apa tidak malu, masa yang menjadi lawan bukan yang berotak, tapi kotak?

Penulis adalah Wartawan

Opini Wartawan, Opini Redaksi

Oleh Nurul Fahmy

MERDEKAPOST.COM - Taklid (taqlid) buta yang berkembang soal jurnalisme adalah wartawan tidak boleh beropini. Pandangan ini jelas telah ditafsir secara salah. Kemudian digunakan untuk menjegal kebebasan individu (jurnalis) dalam menyatakan pendapatnya (opini) terhadap sesuatu hal.

Gejala ini, gejala pelarangan wartawan untuk berpendapat ini, lucunya, biasanya, lebih bersifat politis. Maksudnya, jurnalis diharamkan berpendapat soal pilkada, pilpres dan pilkades atau lain-lain pemilihan.

Kalau sikit saja wartawan berpendapat--soal politik--, maka sinisme sudah muncul, bahkan makin meluas; dituding ikut-ikutan berpolitik praktis.

Alih alih meluruskan paham yang salah ini, mereka, para wartawan itu, celakanya, justru bertaklid buta juga dengan pandangan wartawan tidak boleh beropini itu. Alhasil, banyak kali kita lihat wartawan seperti apatis, a-historis dan acuh tak acuh dengan kondisi politik, sejarah dan termasuk kejadian atau ketidakadilan yang terjadi hari ini.

Sebagaimana taklid, orang yang meyakini paham ini biasanya tidak begitu mengerti bagaimana jurnalis bekerja, dan seperti apa struktur kerja mereka. Mereka beranggapan, kerja wartawan itu tunggal, bersifat pribadi dan sehingga bisa saja sentimentil. Tentu tidak sesederhana itu, Ferguso!

Kerja wartawan itu kolektif. Sebuah laporan yang final, dalam jajaran redaksi yang ideal, merupakan buah kerja banyak orang. Meski perannya maksimal, namun laporan reporter hanya dapat terbit berdasarkan persetujuan banyak pihak diatasnya, setelah melalui proses penyuntingan oleh redaktur. Dengan demikian, di media yang tertib, sang wartawan tentu saja tidak bisa menyelipkan pandangan pribadinya dalam sebuah berita.

Lantas, apakah wartawan boleh beropini? Tidak. Tentu saja tidak boleh, kalau beropini di dalam berita. Wartawan hanya boleh beropini di luar berita, seperti di kolom opini, media sosial ataupun blog pribadi. Tapi bukan berarti media tidak dapat menyampaikan opini redaksi dalam beritanya. (Soal bagaimana opini pribadi bisa masuk di dalam berita akan saya tulis di bagian kedua tulisan ini).

Menuliskan opini adalah cara mengembangkan gagasan dan mengemukakan pandangan. Dia juga berguna untuk menajamkan pikiran, menghindarkan diri dari gejala pikun dan pelupa. Cara lain untuk berargumen secara benar dan bertanggung jawab. Dan beropini tentu saja merupakan hak sipil dalam negara demokrasi, yakni bebas berbicara dalam rangka mengembangkan pendapat umum.

Mengembangkan pendapat umum ini juga merupakan peran dan tanggung jawab pers, sebagai pilar ke empat demokrasi. Pers dapat memuat pendapat atau opini pengamat (ahli) di dalam beritanya. Berita jenis ini, biasanya bukan jenis berita ringan (straight news). Tapi umumnya berita yang bertujuan kritis. Untuk mengubah cara pandang publik, mempengaruhi kebijakan pemerintah dan merupakan sikap redaksi terhadap suatu peristiwa.

Di bagian ini, sedikit yang menyadari bahwa 'opini redaksi' berperan banyak dalam isi berita. Tapi jelas bukan opini individu. Ini adalah pandangan redaksi yang menggunakan pengamat atau ahli yang sejalan dengan media yang bersangkutan.

Meski dalam beberapa kasus, kebijakan redaksi, keberpihakan mereka, biasanya lebih mewakili afiliasi bisnis dan politik si pemilik media. Kalau idealnya, sih, kebepihakan media itu hanya pada kebenaran dan kepada rakyat. Tapi faktanya dapat kita simak sendiri.

Metro TV dan Berita Satu, misalnya, bisa jadi hanya akan meminta pendapat para ahli yang sejalan dengan keinginan mereka ketika membahas soal rezim Jokowi. Begitu pula TVOne, RMOL atau Tirto.id akan menulis dengan sudut pandang para ahli yang sesuai dengan kebijakan redaksi mereka.

Di bagian lain, opini redaksi biasanya ditulis khusus oleh pemimpin redaksi dan dimuat di kolom khusus yang bernama tajuk rencana. Namun sekali lagi ini adalah pandangan umum redaksi. Bukan pandangan individu. Meski dibanyak kasus juga, kebijakan redaksi merupakan pandangan umum pemimpinnya.

Kemudian, jika wartawan tidak dapat mengembangkan pendapat pribadi secara langsung, dimana dia bisa bebas bersuara?

Wartawan boleh saja menulis apa saja, termasuk soal politik sekalipun. Ketika menuliskan opininya, wartawan tidak dapat dikait-kaitkan dengan profesinya. Apa yang dituliskannya adalah tanggung jawab pribadi, bukan tanggung jawab redaksi. Opini bukan laporan jurnalistik.

Di pengujung masa Orde Baru yang megah, wartawan Seno Gumira Ajidarma (kini Rektor IKJ) mengatakan, "Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus Bicara". Jurnalisme, tulis dia, terikat oleh seribu satu kendala, dari bisnis sampai politik untuk menghadirkan dirinya. Buku Sastra bisa dibredel, tetapi kebenaran dan kesustraan menyatu bersama udara, tak tergugat dan tak tertahankan.

Namun di zaman kiwari, seandainya jurnalisme telah kehilangan marwahnya, dan sastra hanya dipenuhi "penyair salon yang bersajak tentang anggur dan rembulan, sementara ketidakadilan terjadi di sampingnya"--mengutip Rendra dalam Sajak Sebatang Lisong---maka opinilah yang harus bekerja.


(Penulis adalah Jurnalis, Ketua IWO Provinsi Jambi)

Dinasti Politik Tumbuh Subur Sebagai Kekuatan Politik Kekuasaan



Dinasti Politik Tumbuh Subur Sebagai Kekuatan Politik Kekuasaan

(Gerakan social anti permainan Dinasti Politik)

Oleh Syamsul Bahri, SE

Kita harus menyadari bahwa Dinasti politik tidak muncul dengan sendiri, ada beberapa factor pendukung antara lain munculnya Era reformasi yang dimulai semenjak tahun 1988 dan sekaligus sebagai era disentralisasi di wilayah Provinsi dan Kabupaten/Kota di Indenesia (kecuali daerah istimewa dan daerah khusus), munculnya Pemilihan secara langsung Kepala Daerah, dan saat itu secara bertahap fenomena dinasti politik di tingkat daerah muncul dengan baiknya.

Dengan disentralisasi tersebut yang sesungguhnya bertujuan untuk meningkatkan daya saing daerah dalam mengelola potensi dan kekayaan daerah dalam mensejahteraakan rakyat dan meningkat pembangunan daerah masing-masing, maka mulai bermunculan elit-elit lokal yang berusaha untuk menguasai daerah tersebut (Effendi, 2018).
Dengan masa jabatan yang tersisa sudah diperjuangkan oleh masing-masing Kepala daerah bahkan tidak menutup perjuangan untuk meneruskan perjuangan sebagai Pimpinan daerah. Walaupun masa jabatan Kepala hanya 2 periode namun akan mendorong Kepala daerah dan kerabatnya/keluarganya  untuk maju melanjutkan kekuasaan  agar kekuasaan  tetap berada di tangan keluarga/kerabatnya.

Tentunya proses untuk melanjutkan kepemimpinan tetap melalui jalur demokrasi, namun jalur demokrasi yang lebih banyak dirancang dan direkaya agar kepemimpinan dapat dilanjutkan melalui dinasti politik kekuasaan, yang dimulai dari kekuasaan yang telah dan akan dimiliki dengan memanfaatkan potensi dan kekayaan yang ada di wilayah tersebut, baik kekayaan Sumber Daya Alam, potensi kekayaan pengadaan barang dan jasa proyek, bahkan petensi SDM ASN dan Birokrat serta pengusaha daerah, bahkan potensi Politikus dan Partai Politik di daerah .

Pemanfaatan tersebut dimulai semenjak pra Pemilu-KADA (saat kekuasan tahap awal),  saat rekrutmen Bakal Calon Kepala Daerah melalui Politikus dan Partai Politik, tahapan Pemilu-KADA, sampai pasca Pemilu-KADA bahkan sampai pada tahap kekuasaan akan terus dan terus berjalan sebagai sebuah Dinasti Politik kekuasaan yang kerkesinambungan, dengan cakaran dan kekuatan keluarga/karabat semakin dalam dan semakin berkuasa, termasuk masalah jual beli jabatan.
Kondisi ini jika terus berjalan secara Terstruktur, Sistimatis, dan Masif (TSM), yang sesungguhnya memang diakui secara hukum tidak ada yang dilanggar dan sesuai dengan HAM, namun secara etika tidak baik karena dapat menyebabkan ketidak adilan dalam distribusi kekuasaan politik, bahkan akan mencederai semangat dari demokrasi dimana kekuasaan politik harus didistribusikan secara merata kepada masyarakat.

Kontestasi politik yang  langsung, umum, bebas dan rahasia serta jujur dan adil (luber dan jurdil) yang bertujuan sesuai tujuan dan arah demokrasi, menjadi impian masyarakat Indonesia dalam Pemilu-KADA, justru cenderung dipengaruhi oleh sistem kepentingan keluarga, mulai dari proses pencalonan hingga kemenangan tersebut dilakukan dengan berbagai macam cara asal keluarga yang berkuasa. Ini bukanlah yang pertamakali dalam praktik dinasti politik, sudah menerapkan dinasti politik yang mengancam demokrasi.

Pemilu-KADA serentak tanggal 9 Desember 2020 menjadi hangat diperbincangkan saat ini,  justru membuat dinasti politik di daerah semakin mencuat. Sejumlah nama yang bemungkinkan dinamakan baca-Kada yang berasal dari Dinasti Politik mulai gencar didengung-dengungkan sampai pada saat mendapat rekomendasi dan rencana rekomendasi dari DPP yang saat ini sedang hangat-hangatnya, tentunya bebekal eksistensi orang tua yang berkuasa dalam pemerintahan, membuat mereka percaya diri untuk maju sebagai bakal calon.

Dinasty politik tersebut bukan hanya dari anak Bupati atau wali kota, gubernur bahkan sampai anak/keluarga Presiden dan wakil Presiden percaya diri untuk maju sebagai Bakal Calon Kepala Daerah, yang yakin dengan eksistensi orang tua akan mendapat pengaruh dalam proses baik pasca, rekrutmen, Pilakada bahkan Pasca Pemilu-KADA.

Dinasti Politik bukan sesuatu  yang baru dalam politik kekuasaan di Indonesia, praktik ini diartikan sebagai kekuasan yang dijalankan sekelompok orang yang masih memiliki hubungan keluarga, baik keturunan, ikatan perkawinan, hubungan darah maupun sanak saudara. Dinasti politik lebih identik demokrasi yang berbasis dengan kerajaan, sedangkan demokrasi hanya sebuah rekayasa system untuk mewujudkan sebuah Dinasti kekuasaan, karena kekuasaan akan diwariskan secara turun temurun. Namun Indonesia sendiri menganut sistem demokrasi, sehingga dinasti politik sangatlah tidak tepat jika diterapkan.
Disadarioleh kita semua, setiap orang memiliki kesempatan yang sama  untuk ikut serta dalam kontestasi politik, begitupula untuk mengakses jabatan publik baik sebagai Gubernur, Bupati maupun Walikota. Namun demokrasi melalui Pemilu-KADA serentak yang seharusnya memberikan kesempatan lebih luas bagi banyak orang, justru sebaliknya menumbuh suburkan dinasti politik didaerah.

Dari banyak sumber dan reference bahwa Dinasti politik, dengan pola yang ada, cenderung kekuasaan mereka yang terlibat dalam lingkaran dinasti politik sering menyalahgunakan kekuasaan, menyalahgunakann amanah dan jabatannya. Bahkan ketika sudah tidak lagi menjabat lagi, mereka tetap bisa mengendalikan pemerintahan lewat anggota keluarganya yang juga menjabat dalam instansi pemerintahan, sehingga peluang dan potensi KKN serta pemiskinan di tingak masyarakat sangat besar dan tercipta.

Jika kita kaji secara konstitusi bahwa dinasti politik dianggap sesuatu yang syah dan wajar secara hukum dan kecenderungan tidak bisa terelakan, maka pengawasan terhadap aktivitas Dinasti Politik dari penyelenggara terutama yang membidangi hukum dan pengawasan secara ketat seperti Banwaslu dan Lembaga Independent lainnya serta Lembaga penegak hukum, termasuk KPK harus sudah dari awal proses mulai melakukan pengawasan terutama pada wilayah yang memiliki indikasi adanya Politik Dinasti dalam Pemilu-KADA, baik dalam proses persiapan yang memainkan semua potensi yang ada dalam kekuasaannya, rekruitmen oleh Partai Politik yang rentan dengan Mahar, Money serta Cast Politik, sampai pada saat pelaksanaan dan pasca pelaksanaan, agar biaya politik bisa ditekan sehingga setiap warga memiliki kesempatan untuk mencalonkan dalam kontestasi politik dan menjadi pejabat publik yang adil.

Suatu daerah jika kita bicara secara jujur, bahwa masyarakat membutuhkan dan memerlukan pemimpin yang terpilih dengan cara system demokrasi yang benar benar berdasarkan demokrasi sesuai tujuan demokrasi itu sendiri untuk memimpin suatu daerah atau wilayah. Pemimpin yang terpilih sesuai dengan aspirasi rakyat, bukan aspirasi keinginan Parartai Politik dan koalisiya, yaitu Kepala Daerah yang amanah, yang akan mendengar dan mementingkan suara rakyatnya dibanding kepentingan partai politik, pribadi dan kelompok dan elite. Diharapkan juga menciptakan pemerintahan yang bersih dari KKN dan dapat dipercaya oleh rakyatnya.

Sehingga secara hukum Dinasti Politik sesuatu yang syah dan legal, namun secara etika tidak layak dan tidak etis, apalagi track record calon dari dinasti politik cenderung sangat lemah, disamping indikasi demokrasi berbasis kerajaan, dan dampak negative sebagaimana dari banyak reference akibat Dinastii politik yang mengancam kesejahteraan masyarakat, maka solusi yang paling tepat, adanya Gerakan social secara nasional untuk menolak Dinasti politik dan pengawasan dan pemantauan secara khusus oleh pemerintah dan penyelenggara terhadap pelaksaaan Pemilu-KADA yang berindikasi adanya calon barbasis Dinasti Politik, sekali upaya hukum yang tegas dan melekat untuk menghentikan kegiatan yang memiliki indikasi memainkan money politik.

)*penulis adalah pengamat politik provinsi Jambi tinggal di Sungai Penuh


Masih Miskinnya Isu Lingkungan dalam Pemilukada 2020


Syamsul Bahri

Masih Miskinnya Isu Lingkungan dalam Pemilukada 2020 
Oleh Syamsul Bahri, SE

“Tulisan ini ditulis kami daur ulang dari tulisan kami sebagai penulis utama untuk persembahkan kembali untuk Pilkada serentak Tahun 2020 dan merayakan Hari Bakti Kehutanan 16 Maret 2020, serta hari Lingkungan Hidup 5 Juni 2020 dan tulisan ini selau kami muat setiap Pilakada serentak/Pileg dan Pilpres di Indonesia, untuk mengingat kita semua, agar lingkungan hidup menjadi bagian yang terintegrasi dengan pembangunan ekonomi yang sesungguhnya untuk mewjudakan keadilan sosial bagi seliruh sakyat Indonesia, sesuai mandat UUD 1945, agar makna Demokrasi dan Hari Bakti Rimbawa dan hari lingkungan hidup akan memberikan makna dalam penyelengaraan negara kita, yang saat ini sangat miskinmenurt kami  visi dan misi lingkungan hidupnya, dan kami muat di beberapa media on line baik nasional, regional maupun local”

Bahwa Pemilu-KADA serentak tahun 2020 baik Gubernur, maupun Bupati/Walikota akan dilaksanakan pada tanggal 23 September 2020, karena covid 19 Pemilu akan dilaksanakan pada tanggal 9 Desember 2020 yang akan diikuti sebanyak 270 daerah, dengan rincian 9 pemlihan gubernur yaitu Sumatera Barat, Jambi, Bengkulu, Kepulauan Riau, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Utara, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, sebanyak 224 pemilihan bupati, dan 37 pemilihan walikotayang saat ini sudah melakukan Tahapan-tahapa Pilkada melalui rezim Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5898).

Pemilu-KADA akan menempuh fase-fase sesuai dengan tahapan, dengan melihat fakta yang ada, bahwa dalam proses Pemilu-KADA, terkesan sikut menyikut antara tim relawan, Tim Sukses dan bahkan tim partai dengan kekuatan dan startegi pasar kursi (Bahasa krennya mahar) partai kepada Para Calon Bakal Kepala Daerah tidak dapat dihindari (mudah-mudah tidak terjadi), seyogyannya para Baca Kepala Daerah dan pasangannya Bersama relawan dan/atau tim relawan dan tim sukses dapat menunjukkan keteladanannya dengan melakukan proses politik yang santun dan tidak emosional dan jauh keluar dalam praktek money politi yang sesungguhnya. Kalau para tokoh politiknya sendiri sudah emosional, maka besar kemungkinan akan terjadi gesekan atau benturan di antara para pendukungnya di tingkat grass-root.

Dan marilah kita fahamilah bahwa Pemilu-KADA. adalah sarana dan bukan tujuan, sedangkan tujuan yang ingin dicapai adalah  memilih seorang Kepala Daerah yang mampu mewujudkan amanah UUD 1945 sebagai bentuk visi negara yang maju, aman, damai dan sejahtera, tentunya sebuah sarana tidak  mengganggu pencapaian tujuan bersama.

Dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan, sesungguhnya Pemilu-KADA memiliki makna penting dan strategis, karena momentum tersebut tidak hanya memberikan peluang terjadinya rotasi dan sirkulasi kekuasaan dalam pemerintahan, tapi juga peluang bagi rakyat melakukan koreksi terhadap segala kesalahan dan kekurangan dimasa rezim terdahulu, untuk dapat menentukan pilihan yang tepat dan terbaik bagi masa depan daerahnya, termasuk munculnya Politik Dinasti di daerah.

Marilah kita melihat kedepan serta mengajak para elite politik dan masyarakat, terutama para bakal calon Kepala daerah untuk mengubah paradigma berpikir dalam memandang Pemilu-KADA, jangan lagi memandang Pemilu-KADA sebuah pertarungan hidup mati antara kelompok/kekuatan partai politik, tapi yakinilah bahwa PemiluU-KADA sebagai sebuah sarana untuk mewujudkan tujuan demokrasi, tujuan berbangsa dan bernegara, yaitu menuju masyarakat yang adil dan makmur secara mandiri

Jika kita menyimak tujuan bernegara dan berbangsa dalam UUD 1945, salah satunya adalah menuju masyarakat yang adil dan makmur secara mandiri yang diimplementasikan untuk mejudkannya salah satunya adalah Demokrasi melalui Pemilu-KADA.

Adil dan makmur tersebut, tentunya akan menjadi acuan dan tujuan yang akan diembankan oleh kita semua terutama Pemerintahah daerah melalui Pasangan Kepala daerah sebagai visi negara sebagai bagian dari proses tawar menawar dengan masyarakat untuk mengajak masyarakat memilih  dalam ajang kampanye.

Adil dan makmur, jika kita lihat fakta yang ada saat sekarang, tidak mungkin terwujud dengan kondisi alam dan lingkungan yang ada memiliki kecenderungan semakin tidak bersahabat, terlihat dari Indikator bencana yang hampir melanda seluruh wilayah Indonesia, sehingga pemberdayaan ekonomi, peningkatan infrastruktur dalam rangka mewujudkan Visi Negara itu tidak akan berati, apabila dalam visi dan misi tersebut kegiatan upaya pelestarian lingkungan hidup menjadi bagian utama dalam pembangunan berkelanjutan diabaikan.

Isu lingkungan terutama global warming menjadi sebuah permasalahan global  yang menjadi tanggung jawab setiap Negara, pemerintahan, rakyat, bahkan isu tersebut sudah menjadi bagian terintegrasi dari pembangunan Indonesia saat ini.

Namun sungguh menjadi pertanyaan yang sangat besar bagi masyarakat, banyak Bakal Calon Kepala Daerah, justru isu lingkungan tidak menjadi penting, dibanding isu infrastruktur dan ekonomi kerakyatan, pendidikan dan kesehatan menjadi bagian dari isu yang dijadikan startegi kampanye, sedangkan isu lingkungan diabaikan, pada hal fakta yang terjadi saat ini lingkungan menjadi bagian utama penyebab kerusakan infrastruktur, gagal panen dan lain-lain yang justru dana yang harus dikeluarkan untuk perbaikan akibat kerusakan lingkungan sangat besar

Isu yang cenderung dan dominan yang dijadikan tema kampanye oleh para pasangan yang umumnya menjanjikan peningkatan Pemasukan Negara, PAD (pendapatan asli daerah) melalui pengembangan investasi baik perkebunan, pertambangan. Kehutanan dll.

Pengalaman penerapan otonomi daerah melalui Pemilu-KADA selama ini yang cenderung melahirkan “raja-raja lokal” dengan kekuatan kekuasaannya yang besar indikasi menjalin hubungan bisnis secara legal dan illegal seperti tercermin pada kasus illegal logging, pertambangan, perkebunan, Kehutanan dll yang cenderung berada dalam wilayah KKN di indonesia seharusnya menyadarkan semua pihak akan betapa rawan masa depan lingkungan hidup, bila dalam proses Pemilu-KADA aspek kepentingan lingkungan diabaikan.

Dengan melihat posisi dan peran kepala, semakin strategis dan menentukan, agenda lingkungan hidup seyogyanya menjadi salah satu pertimbangan penting dalam Pemilu-KADA, akan sangat ideal bila sejak awal kontestan Pemilu-KADA dalam visi dan misinya memberikan porsi yang memadai terhadap pemecahan masalah lingkungan hidup di daerah setempat, karena dengan demikian, rakyat dalam menentukan pilihannya memiliki acuan serta pemahaman yang lengkap mengenai program-program pelestarian lingkungan hidup yang bakal dijalankan oleh calon yang mereka pilih.

Dengan harapan, jika peserta dan kontestan yang nyata-nyata pernah terlibat atau ikut memberi peluang terjadinya perusakan lingkungan hidup, baik melalui kebijakan-kebijakan publik, maupun dalam aktivitas usahanya (non- pejabat), sebaiknya tidak dipilih, agar persoalan yang ada tidak bertambah runyam. Untuk itu, perlu kerja sama dan sikap proaktif dari semua pihak untuk melakukan publikasi dan penyadaran kepada masyarakat agar rakyat pemilih tidak terkecoh dalam menentukan pilihannya.

Hendaknya disadari bahwa masalah lingkungan hidup kini menjadi persoalan yang sangat mendasar bagi bangsa Indonesia. Karena itu, sudah saatnya semua pihak menaruh perhatian serius terhadap masalah ini. Dalam konteks itu, melihat kenyataan bahwa sebagian besar kerusakan lingkungan senantiasa berhubungan erat dengan kebijakan pemerintah, sudah seharusnya penyelamatan lingkungan ikut dijadikan kriteria pokok dan prasyarat formal penentuan pejabat public.

Kebakaran hutan dan lahan, bencana asap, banjir, tanah longsor, sebuah bencana yang mungkin sudah bisa di prediksi dengan data-data yang telah ada, sehingga kebijakan pencegahan dan perbaikan sudah bisa direncanakan dengan sebaik-baiknya, minimal dapat dilakukan untuk meminimlkan bencana dan meminimalkan dampak dari bencana ekologi tersebut, karena factor ekonomi yang berorientasi pada murni benefit oriented yang cenderung mendorong kerakusan yang akan ikut menentukkan penyebab dan akan menerima dampak dari bencana tersebut.

Sehingga Melalui Proses Pemilu-KADA tahun ini diharapkan masalah lingkungan hidup bukan saja menjadi menjadi isu yang diharapkan harus diperjuangkan oleh Kepala Daerah, melainkan dimasukan dalam VISI dan MIsi utama oleh Bakal Calon kepala daerah dan/atau Calon Kepala daerah, dan skaligus menjadi penilian Pemilih untuk memilihnya, itu harapan kita.

Beberapa contoh Kabupaten, kota dalam Provinsi Jambi yang memerlukan pemulihan ekosstim dan kerusakan lingkungan, hampir semua Wialayah Kabupaten mengalami kebanjiran, dan beberapa wilayah sudah dikenal dengan Wilayah sampah dan kumpulan sampah, begitu juga terkait dengan kebakaran hutan dan lahan yang justru menjadi problema yang cukup memprihatikan, dan kondisi tersebut sudah diketahui dan permasalahan setiap tahun.

Sehingga melalui proses Pemilu-KADA tahun 2020 ini, jika tidak ingin berlarut larut kerusakan lingkungan yang membutuhkan biaya yang cukup besar untuk pemulihan ekosistem, diharapkan para pasangan Bacawako baik Kabupaten, Kota maupun Provinsi isu lingkungan hendaknya menjadi isu penting disamping isu isu ekonomi, Pendidikan, infrastruktur dan lain – lain.)***


Politik Uang Membunuh Demokrasi

Ilustrasi Politik uang (money politik)
Pembunuhan Demokrasi 
Ditulis Oleh: Syamsul Bahri, S.E

PILKADA serentak yang direncanakan pada tanggal 9 Desember 2020, pelaksanaan penudanaan ini dikarenakan mempertimbangkan penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) yang dinyatakan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization) sebagai pandemi pada sebagian besar negara-negara di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, telah menimbulkan banyak korban jiwa dan menunjukkan peningkatan dari waktu ke waktu serta telah ditetapkan sebagai bencana nasional.

Pilkada serentak tanggal 9 Desember 2020 akan diikuti oleh sebanyak 270 daerah, dengan rincian 9 pemlihan gubernur yaitu Sumatera Barat, Jambi, Bengkulu, Kepulauan Riau, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Utara, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, sebanyak 224 pemilihan bupati, dan 37 pemilihan walikotayang saat ini sudah melakukan Tahapan-tahapa Peilkada melalui rezim Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5898)

Jika kita telaah dari berbagai tinjauan baik Pilkada, Pemilihan Legislatif maupun Pemilihan Presiden, ada beberapa ancaman demokrasi sesungguhnya sampai saat ini masih tetap menjadi batu sandungan yang membuat demokrasi akan terganggu antara lain seperti money politik dan Politik Dinasty, kampanye hitam, rekruitmen partai politik dll, kita akan bicarakan setiap permasalahan, maka tahapan pertama kita akan bahas Politik Uang dan akan kita sampaikan secara bersambung.

Syamsul Bahri, SE
Money Politik atau politik uang terkait dengan Pilkada sepanjang musim Politik, politik uang memang sudah menjadi suatu kegiatan yang sangat sulit untuk dihindari dan ditolak, money politik memberi kesan “ada tapi tiada” yang cenderung memainkan invisible hand yan seharusnya harus diwaspadai dengan membuat tim khusus yang difasilitasi oleh Banwas dan penegak Hukum lainnya, terutama KPK.

Sebagaimana kita fahami bersama bahwa kecenderungan praktik politik uang dalam proses demokrasi hanya akan menghasilkan pemimpin dengan kualitas rendah. Politik uang juga akan melemahkan politisi dan institusi demokrasi itu sendiri. Bahkan Politik uang akan memusnahkan kader-kader partai yang telah menghidupkan dan memperjuangkan partai akan tergilas oleh Politik uang itu sendiri.

Pemerintah dan DPR serta KPU dan Banwaslu menyadari bahwa pesta demokerasi baik Pemilihan Legeslatif, Presiden bahkan Kepala Daerah menyangkut money Politic (Politik uang) selalu menjadi permasalahan dan isu dan merupakan tumor ganas yang menjalar keseluruh tubuh, jika tidak segera dioperasi atau dikemotherapy, lambat laun akan semakin mengganas dan akan menggerogoti seluruh sendi-sendi kehidupan masyarakat di negeri ini.

Politik uang adalah sebuah bentuk pelanggaran terhadap hukum Pilkada karena jika kita masih mempedomani sebagai reference Pasal 73 UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang  pemilihan gubernur, bupati, dan walikota secara tegas dinyatakan bahwa Calon dan/atau tim kampanye dilarang menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi Pemilih.

Calon yang terbukti melakukan pelanggaran berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dikenai sanksi pembatalan sebagai calon oleh KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota dan dikenai sanksi pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sedangkan Tim Kampanye yang terbukti melakukan pelanggaran berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dikenai sanksi pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

Sedangkan adanya permainan uang terkait Pemilu yang belum diakomodir oleh UU Pemilu, seperti pra Pemilu atau Pilkada, terutama terkait dengan proses rekreuitmen Bacakada/Bacaleg dimasing-masing Wilayah Pemilihan mulai dari tingkat Kabupaten/Kota sampai ditingkat DPP perlunya pemantauan ekstra keras oleh Lembaga penegak Hukum termasuk KPK, karena penilaian Penulis wilayah ini cukup rawan, melalui tahapan-tahapan Rekreuitmen tersebut.

Hampir setiap pesta demokrasi baik Pemilihan Legeslatif, Presiden bahkan Kepala Daerah, terkait dan menyangkut money Politic (Politik uang) selalu menjadi permasalahan dan isu dan merupakan tumor ganas yang menjalar keseluruh tubuh, jika tidak segera dioperasi atau dikemotherapy, lambat laun akan semakin mengganas dan akan menggerogoti seluruh sendi-sendi kehidupan masyarakat di negeri ini  dan mengancam bahkan membunuh demokrasi.

Maka diharapkan melalui Lembaga Banwas bekerjasama dengan Lembaga penegakan hukum lainnya, membuat startegi untuk mencegah aktivitas Politik uang, mulai dari kegiatan pra Pemilu sampai pasca pemilu yang direncang dengan melibatkan masyarakat yang peduli dengan Pemilu bersih, dan menurut pandangan penulis bahwa kondisi kronis ini sudah emergency dalam pelaksanaan Pemilu atau Pilkada tahun 2020 ini.)*

Penulis : Samsul Bahri, SE (Seorang Pengamat saat ini tinggal di Sungai Penuh)



Kenapa Pentingnya Membaca? (Bag. 1) Betapapun jeniusnya anda, tanpa membaca anda “jeblok”


Kenapa Pentingnya Membaca? (Bag. 1)  
Betapapun jeniusnya anda, Tanpa Membaca Anda “jeblok”

Penulis : Oldy A. A 

APA pentingnya kita harus membaca, menurut pendapat Prof. Bambang Sugiharto menjelaskan, apa yang dialami beliau sebagai pengajar, sebagai penulis, beliau menerangkan dari hasil penelitian bahwa anak-anak muda Indonesia itu buta huruf.

Bukannya tidak bisa membaca namun dalam arti kemampuan dalam menangkap dan mengolah isi bacaan menjadi visi pribadi lemah sekali dengan kata lain kemampuan analitik dan sintetiknya rendah sekali.

Menurut pandangan beliau dari hasil penelitian tersebut, mahasiswa pada tahun pertama di Indonesia level nya setara dengan anak SMP di Negara-negara maju.

Sebagai pengalaman beliau sebagai pengajar selama 30 tahun itu adalah betul, bahkan sampai level doctoral beliau sering memperbaiki bahasa dan penataan nalar para calon doctor.

Ketika kemampuan baca itu rendah, akibatnya fatal, umumnya pemikiran menjadi picik dan dangkal atau sumbu pendek.

Apa lagi di sosmed kita bereaksi secara emosial, tidak mikir dan semakin ketahuan lagi betapa piciknya kita serta latah dalam berfikir maka mudah terhasut, over sensitive dan tidak punya pendapat pribadi.

Dalam beberapa kasus jika diwawancara secara pribadi jawabanya klise, tidak memperlihatkan personal dan pemikiran sendiri atau tidak ada isinya sama sekali.

Menurut pendapat filsuf Niche, umumnya kita itu bermental kawanan serta sikap kita serba hitam putih, kita itu berfikiran dogmatis sekali, benar atau salah, boleh atau tidak boleh dan hanya sebatas itu.

Tidak punya kelenturan-kelenturan refleksif dalam berfikir maka akibatnya secara keselurahan kepribadian kita itu mentah, dalam arti dangkal, tidak punya prinsip, semua dihafalin dan tidak dicerna. 

Masalahnya kita juga tidak bisa disalahkan, Negara-negara maju atau dunia barat untuk budaya baca tulisnya dibentuk dalam waktu yang lama sekitar 400 tahun yang lalu, sejak adanya budaya cetak pada abad ke-17

Sejak itu terjadi demokratisasi pengetahuan dan orang mulai membaca sendiri, sebelum masuk budaya digital dengan cara membaca pendek-pendek, mereka terbiasa untuk membaca buku-buku tebal.

Budaya membaca sebagai budaya utama di Indonesia tidak terbentuk, kita melompat dari budaya lisan sudah langsung masuk budaya digital atau budaya social media dan tidak sempat masuk dalam budaya baca tulis.

Budaya lisan adalah kepanjangan dari budaya social media, medsos hanyalah warung digital dimana kita ngobrol yang sebenarnya tempat ngobrol yang lain.

Intinya dalam budaya membaca adalah proses pematangan individu untuk berdaya, membaca itu perlu untuk mengetahui banyaknya informasi. Faktor yang lebih penting dari membaca bukan dari aspek informatifnya tapi aspek formatifnya.

Membaca buku menjadi penting karena menjadi gudang ide dan berkembang tanpa batas serta sebagai sumber pengetahuan yang tida pernah habis.

Siapapun yang merasa menjadi jenius dengan hanya berfikir dan melahirkan pengetahuan pasti itu bodoh karena betapapun briliannya anda, anda akan menemukan ide melalui ide orang lain.

Ada banyak paradok dalam hidup ini, salah satunya adalah tanpa membaca betapapun jeniusnya anda, anda adalah ‘jeblok”. Anda akan menemukan kebrilian anda justru dari kecerdasan-kecerdasan orang lain.

Semakin anda bergaul semakin anda menemukan diri anda sendiri dan semakin anda mengurung dikamar terus semakin anda tidak menemukan anda sendiri. Tapi semakin luas pergaulan anda semakin luas anda menemukan anda sendiri.)*

Ditulis oleh Oldy A. A (Mahasiswa Program Doktor UNJA)

Pilwako Sungai Penuh : Saatnya Cerdas, Jangan Jadikan Uang Sebagai Variabel Pertama

Pengamat dan pemerhati Kota Sungai Penuh Riswanto Bakhtiar (kiri) dan Defitra Eka Jaya (kanan)
Merdekapost.com - Pemilihan Walikota dan Wakil Kota Sungai Penuh merupakan sesuatu hal yang selalu menjadi sangat menarik untuk diikuti dan disaksikan. tensi politik menjelang 9 Desember 2020 meningkat drastis, isu-isu hangat mulai digaungkan untuk menarik simpati masa.

Meskipun baru-baru ini sempat 'istirahata' tertunda sejenak karena semua energi dan upaya dikerahkan untuk penanganan wabah Corona, namun memasuki masa-masa new normal terutama pasca KPU mengumumkan Pilkada tetap dilaksanakan di Bulan Desember 2020, maka perlahan suhu politik mulai meningkat dan kembali menjadi topik utama perbincangan baik ditingkat elit maupun akar rumput.

Pantauan media ini, para kandidat masih belum terlihat memberikan sesuatu hal yang unik dan menarik, masih belum terlihat nyata dipermukaan dan masih seperti biasa-biasa saja. meskipun pertemuan dan komunikasi tingkat elit terus dan gencar dilakukan.

Fenomena lama dan gaya politik money politik masih menjadi salah satu 'penyakit' yang mewarnai Kota Sungai penuh, masih banyak yang beranggapan bahwa siapa yang paling banyak finansialnya itulah yang akan menjadi pemenang Pilkada, Namun yang pasti, moneypolitik tidak dibenarkan dalam penentuan pemimpin di Kota Sungai Penuh lima tahun yang akan datang.

Apapun alasannya moneypolitik tidak mencerminkan politik yang mencerdaskan. begitu juga dengan out put atau hasil dari Pilkada nanti, jika money politic yang ditonjolkan maka pemimpin Sungai Penuh kedepan diragukan komitmen dan keseriusannya untuk mmajukan dan membangun Kota Sungai Penuh. Meskipun begitu bukan berarti finansial tidak dibutuhkan dalam politik.

Defitra Eka Jaya (DEJ) tokoh muda Sungai Penuh sekaligus pengusaha sukses di Jakarta yang selama ini aktif dan peduli dengan Tanah kelahirannya, menyikapi ini menyebutkan, “Sebelum turun ke politik finansial itu salah satu faktor penting. Namun jangan jadikan uang sebagai variabel pertama dalam menentukan dan memilih pemimpin Kota Sungai Penuh lima tahun kedepan di ,”ungkapnya.

Lanjut DEJ, " 9 Desember 2020 nanti merupakan sebuah momentun bagi Kota Sungai Penuh",

"Artinya, Kota Sungai Penuh sudah memasuki Pilwako untuk ketiga kalinya. Dua periode hampir berlalu dan sudah bisa dievaluasi hasil usaha dan kerja pemimpin, apakah sudah membawa kearah maju atau sebaliknya,”kata DEJ.

Sekali lagi, lanjut DEJ, moneypolitik tidak dibenarkan hingga saat ini. “Apapun alasannya moneypolitik tidak dibenarkan dan tidak mencerminkan suatu kecerdasan. Saat ini masyarakat harus cerdas memilih pemimpin,”Cetusnya.

Sementara itu, menurut Riswanto Bakhtiar Pengamat Politik Universitas Eka Sakti Sumatera Barat mengungkapkan, bahwa money politik dalam undang-undang pemilu legislatif dan kepala daerah termasuk pelanggaran pidana Pemilu.

“Apalagi pada saat kampanye, menjanjikan dan memberikan sesuatu dalam bentuk barang atau uang yang tujuannya untuk mempengaruhi pemilih agar memilih calon tertentu dan terbukti berdasarkan pemeriksaan laporan oleh tim Gakumdu, maka bisa dilimpahkan kasusnya ke kejaksaan diteruskan ke pengadilan, dan itu seringkali terjadi pada Pilkada-pilkada sebelum ini”ungkapnya.

Ia menambahkan bahwa, ketika tahapan Pilkada dimulai banyak sekali ditemukan adanya pelanggaran-pelanggaran, namun terkadang prosesnya tidak dilanjutkan ketingkat selanjutnya.

“Memang kita tidak bisa memungkiri bahwa politik uang itu ada dalam setiap pemilihan, baik pemilihan legisilatif maupun Kepala daerah, namun tidak banyak yang diteruskan ke tingkat peradilan karena lemahnya alat bukti dan saksi,”ujar Riswanto.

Ditegaskannya, Terkait politik uang, itu sangat merusak tatanan demokrasi serta memiliki potensi menyalahi aturan perundang-undangan yang berlaku.

“Politik uang ini sangat merusak demokrasi yang kita laksanakan, karena setiap calon harus menyiapkan dana yang banyak untuk bisa meraih suara. Akibatnya ketika mereka sudah berada pada kursi kekuasaan, banyak yang melakukan KKN guna mengembalikan modal yang sudah terlalu besar untuk mencalonkan diri,”sebutnya. (hza)


Berita Terpopuler


Copyright © MERDEKAPOST.COM. All rights reserved.
Redaksi | Pedoman Media Cyber | Network | Disclaimer | Karir | Peta Situs