No Political Without Cost


Oleh:
Dr (c) Riswanto Bakhtiar, S.AP, M.A.P Pengamat Politik Universitas Ekasakti Padang,
Konsultan Politik Indo Jarinusa Jakarta.

Tahun 2020 adalah tahun politik, kalau kita berpatokan pada Perppu No. 2 Tahun 2020 yang menetapkan tanggal 9 Desember 2020 pelaksanaan Pilkada Serentak di Indonesia, walaupun masih ada pasal karet yang menyatakan apabila pandemi Covid-19 masih mewabah maka akan ditunda lagi 2021.

Menyikapi fenomena dan sikap yang banyak bermunculan dari masyarakat awam (bawah) sampai masyaralat awan (atas), bahwasanya politik di Indonesia akan sulit menghasilkan pejabat atau pemerintah yang bersih, jujur, berkualitas, dan lain-lain, jika masih ada budaya poitik uang yang menjadi tolak ukur masyarakat utk memilih dan modal dasar kandidat untuk dipilih.

Hal ini sudah menjadi tradisi yang dibentuk secara masif di tengah masyarakat sejak pilkada langsung tahun 2005. Artinya, pilkada langsung sejak 2005 sampai 2020, seluruh kandidat yang akan maju jika tidak ada modal yang kuat atau biaya politik yg cukup jangan ikut berkontestasi di pilkada langsung.

Kenapa demikian, karena modal dasar untuk menang sekarang adalah uang atau biaya politik. Kalau ada yang mengatakan tanpa biaya politik juga bisa ikut berkontestasi, ya sah-sah saja karena mungkin memiliki kemampuan lebih dibidang lain.

Tapi yang namanya politik tetap saja ada biayanya, diantaranya adalah dukungan (baik melalui jalur partai politik ataupun perseorangan), kok bisa? Ya bisa dan wajib, karena dukungan partai politik gak ada yang gratis (kalau ada alhamdulillah, parpol tersebut sangat luar biasa, tapi perlu disurvey ke kandidat yang pernah maju lewat parpol).

Bagaimana dengan dukungan ke perseorangan, bukankah tidak perlu biaya? Siapa bilang? Dukungan perseorangan sekarang harus satu paket (gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, walikota/wakil walikota) dibuktikan dengan copy KTP dan ditandatangani diatas meterai.

Pertanyaannya apakah ada foto copy ktp dan meterai gratis? (ada, kalau dia keluarga kandidat/pendukung fanatik), selanjutnya apakah ada Alat Peraga Kampanye (APK) yang gratis? (ada dari sumbangan sukarela simpatisan), apakah cukup sumbangan saja? Jawabannya sudah pasti tidak.

Seterusnya, kampanye dalam bentuk rapat terbatas atau rapat umum, apakah perlu biaya? Sudah pasti lah, gak mungkin bisa mobilisasi massa tanpa biaya (kalau ada jg masuk kategori luar biasa), berikutnya saat pemilihan, apakah ada saksi kandidat yg gratis? Kalaupun ada ini juga masuk luar biasa juga.

Itu hanya sebagian kecil realita ditengah masyarakat bahwa mau maju di politik harus ada dana dan biaya yang dikeluarkan. Kalau ada yang mau maju di pilkada dengan menyalahkan sistim dan masyarakat, menurut saya lebih baik diam saja jadi penonton, gak usah berkoar-koar lagi, membuat malu diri sendiri.

Apalagi mengatakan kalau masyarakat masih mau dibayar berakibat nanti pemerintahan tidak berjalan efektif dan penuh KKN, kalau menurut saya semua kembali ke individu masing-masing. Jangan salahkan masyarakat, tapi salahkan cara anda memimpin.

Jadi, jangan mimpi untuk saat ini mau masuk dunia politik terutama pilkada tanpa biaya. Simpan dulu mimpinya sampai anda bisa membuat sistim, serta aturan sendiri untuk anda sendiri dan aturannya tanpa diberlakukan ke orang lain.

Stop salahkan sistim politik, stop salahkan masyarakat. Cause no political without cost. (hza)

Kisah Christina, Seorang Ibu di Surabaya yang Sembuh dari COVID-19

Ilustrasi Covid-19. (doc/kumparan)
Satu per satu kisah kesembuhan pasien COVID-19 di Surabaya mulai bermunculan. Setelah kita ikuti cerita Muhammad Budi Hidayat, Kepala Kantor Kesehatan Pelabuhan Kelas I Surabaya, yang sudah dinyatakan sembuh dari virus corona, kini ada Christina.

Christina merupakan pasien positif COVID-19 yang telah dinyatakan sembuh dan diperbolehkan pulang. Christina pun bercerita kronologis hingga ia dirawat di RSUD Dr Soetomo Surabaya.

Saat itu, sekitar awal Maret 2020, Christina mulai merasakan perubahan suhu tubuh yang siginifikan. Ibu dua anak ini mengalami demam tinggi yang disertai rasa ngilu dan nyeri di sekujur badan. Badannya nyeri terasa seperti patah-patah, dan ia pun kehilangan nafsu makan.

Di tanggal 9 Maret 2020 dia memutuskan untuk periksa ke RS Mitra Keluarga Surabaya.

“Beberapa hari saya dirawat di RS Mitra Keluarga. Waktu itu nafas saya sudah lemas. Dada kanan warnanya abu-abu sudah bisa sembuh karena terapi. Lalu yang kiri memburuk berbentuk embun dan menutup-nutup,” kata Christina saat dihubungi via telepon tim Humas Pemkot Surabaya, Sabtu (28/3).

Kemudian pada tanggal 11 Maret, Christina dibawa ke RS Unair untuk dilakukan swab tenggorokan dan hidung. Kemudian keesokan harinya, Christina dirujuk ke RSUD Dr Soetomo dan langsung masuk dalam ruang isolasi khusus.
“Saya tahu saat dimasukkan ke ruang isolasi khusus. Dengan kondisi lemas bernafas pun sudah tidak sampai, oksigen tidak maksimal. Saya sendiri di ruang khusus itu bersama alat medis,” ungkapnya.

Christina mengatakan, selama dirinya dirawat di ruang isolasi khusus tak ada satu pun dokter dan perawat yang mengatakan kalau Christina mengidap COVID-19.

Bahkan, yang dia tahu dokter hanya menyampaikan bahwa dia harus sembuh, harus kuat dan tidak putus dalam berdoa.

“Ibu harus sembuh, ibu sehat, karena hanya ibu yang bisa membantu diri ibu sendiri, imun ibu yang membentengi ibu sendiri. Itu kata dokter pada saya. Tidak pernah sama sekali dokter dan perawat bilang pada saya tentang virus,” kata Chrstina.

Perawatan selama di ruang isolasi dirasakan Christina sebagai hari-hari yang paling berat untuk dilewati. Hingga akhirnya, Christina dipindah ke ruang isolasi tanpa peralatan medis.

“Itu lima hari yang luar biasa berat. Saya merasakan betapa sakitnya. Dokter terus mendukung saya, ibu tidak apa-apa jalan pelan-pelan selangkah dulu dan pakai oksigennya. Lalu setelah itu saya dimasukkan ke ruang yang tidak ada peralatan lagi masih di ruang isolasi juga,” papar dia.

Setelah hari kedelapan di rawat di RSUD dr Soetomo, akhirnya dia dapat bertemu dengan sang suami. Pada kesempatan itu, dokter menyampaikan bahwa kondisi Christina sudah resmi negatif COVID-19.

“Dokter bilang itu pada suami saya kalau saya sudah kembali sehat. Saya dinyatakan negatif COVID-19,” tegasnya.

Meskipun saat ini Christina sudah kembali ke rumah, ia tetap harus membatasi kegiatannya sembari menjaga pola hidup agar tetap sehat.

Tidak lupa Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya juga terus memantau kondisi pasien yang sudah sembuh itu melalui puskesmas terdekat. Bahkan, pemkot juga memberikan perhatian khusus kepada Christina dengan cara memberikan vitamin, suplemen dan makanan sehat.

“Terima kasih sekali kepada Bu Risma dan jajarannya atas apa yang sudah saya terima. Bahkan selama saya sakit suami dan anak saya diperhatikan,” ucapnya.

Christina berharap, warga Kota Surabaya juga dapat mematuhi aturan yang sudah ditetapkan pemerintah. Terlebih, dia sebagai mantan pasien COVID-19 sudah merasakan betapa sakitnya melawan virus tersebut.

“Peraturan pemerintah itu harus didengar. Ini bukan penyakit atau virus biasa. Saya sudah mengalami ini. Untuk anak muda, sudah tidak usah lagi keluar kalau sekadar nongkrong itu tidak perlu. Kita batasi interaksi. Memang ada dokter tapi, dia juga manusia,” pungkasnya. (*)

sumber: kumparan.com

Putra Presiden Jokowi Tak Dapat Undangan Rakernas PDIP, Gibran : Saya Kader Biasa

Gibran Rakabuming Raka (ketiga kanan), mengembalikan formulir pendaftaran pencalonan sebagai Wali Kota Surakarta kepada Ketua Panitia Pendaftaran Bakal Calon Kepala Daerah DPD PDI Perjuangan Jateng Abang Baginda (kelima kiri) di Panti Marhaen Semarang, Berkas Gibran dinyatakan lengkap dan resmi terdaftar sebagai bakal calon Wali Kota Surakarta. (ANT/HZA)

JAKARTA - Putra Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka mengaku tak mendapatkan undangan pada Rakernas PDIP. Menurutnya, dia hanya seorang kader biasa dan menunggu perintah.

“Saya cuma kader biasa, kader baru, nunggu perintah,” kata Gibran kepada wartawan di Solo, Jumat (10/1/2020).

Menurutnya, hanya kepala daerah dan anggota DPRD dari PDIP serta jajaran pimpinan DPC juga diundang di Rakernas. Meski begitu, Gibran mengaku siap datang jika memang diundang. Namun jika tidak diundang, maka dia memilih tetap di Solo.

“Saya nunggu panggilan aja. Ini belum ada undangan. Di Solo aja,” ujar Gibran.

Di sisi lain, Raka sibuk menyiapkan diri untuk mendaparkan rekomendasi dari PDIP untuk berlaga dalam Pemilihan Wali Kota Surakarta 2020.

"Tiap hari saya keliling bertemu dengan masyarakat."

Gibran adalah salah satu bakal calon Wali Kota Surakarta yang berebut rekomendasi dari PDIP. Dia bersaing ketat dengan Achmad Purnomo yang kini Wakil Wali Kota Surakarta.

Adapun Purnomo berangkat dari Solo ke Jakarta untuk menghadiri Rakernas I PDIP pada Jumat pagi ini, 10 Januari 2020.

"Saya mendapat undangan untuk ikut acara ini," ucap Purnomo bekas dosen Universitas Gadjah Mada Yogyakarta tersebut. (detik.com/ant/hza)

Murady Dampingi Sandi Kunjungi Petani Karet dan Sawit di Muhajirin

Sandi menyadap Karet warga didampingi H Murady di arela perkebunan petani di Ness Desa Muhajirin Muaro Jambi (ist) 

JAMBI, MERDEKAPOST.NET - Kunjungan Cawapres Sandiaga Salahudin Uno di Provinsi Jambi Kemarin (25/11) disambut antusias masyarakat Jambi, tidak hanya di kota Jambi saja, bahkan sampai ke warga petani karet dan sawit di seputaran Ness, desa Muhajirin Kecamatan Jambi Luar Kota Kabupaten Muaro jambi.

Dalam kunjungannya itu, Sandi menegaskan bahwa dirinya akan memperjuangkan harga karet agar naik dan petani sejahtera.

"Kita akan fokus memperjuangkan ekonomi masyarakat, jangan sampai petani sengsara". ujar sandi dihadapan para petani.

Dikatakan Sandi, soal harga karet harus diperhatikan serius,  "Kita harus bela petani, harga karet harus naik pak Murady". Ujar Sandi sambil menyadap karet disaksikan oleh para petani di Desa Muhajirin. (ald)

Ada yang Lebih Penting Sebelum Buat Versi Baru Film G30S PKI



Peneliti dari Human Rights Working Group (HRWG) menyarankan pemerintah menyelesaikan pengungkapan kebenaran sejarah pasca peristiwa 1965 terlebih dahulu, sebelum membuat versi baru film Penumpasan Penghianatan G30S PKI.


Wacana yang dilontarkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk membuat ulang film Penumpasan Penghianatan G30S PKI mendapat respons beragam dari banyak pihak. Mereka umumnya tidak mempersoalkannya, tapi ada sejumlah catatan yang harus diperhatikan dalam remake film yang digunakan rezim Orde Baru sebagai media propaganda itu.

Daniel Awigra, Program Manajer Advokasi HAM ASEAN dari Human Rights Working Group (HRWG) mengatakan, pihaknya tidak mempermasalahkan pemerintah merevisi film yang memuat peristiwa yang terjadi pada 30 September 1965. Namun, Daniel menekankan bahwa film yang diproduksi di era Orde Baru itu meninggalkan banyak problem. 

“Sudah banyak, katakanlah kritik yang mengatakan bahwa film itu [Penumpasan Penghianatan G30S PKI] dibuat sebagai alat propaganda Orde Baru,” kata Daniel di Gedung Ombudsman RI, Kuningan, Jakarta, Selasa (19/9/2017). 

Daniel menuturkan, saat itu penguasa Orde Baru berambisi menghabisi lawan-lawan politiknya, terutama Partai Komunis Indonesia (PKI). “Tidak hanya anggota, tapi juga simpatisan tanpa diproses hukum pengadilan,” kata Daniel. 

Menurut Daniel, film baru soal G30S/PKI ini harus memuat kebenaran secara utuh. Pemerintah harus menampilkan fakta dari berbagai pihak, termasuk korban. Daniel berpendapat, warga yang menjadi korban diskriminasi dan trauma akibat dikeluarkannya Ketetapan MPRS Nomor 25 Tahun 1966 tentang tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan Sebagai Organisasi Terlarang di seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia Bagi Partai Komunis Indonesia dan Larangan Setiap Kegiatan Untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Faham Atau Ajaran Komunisme/MarxismeLeninisme, juga perlu diungkap. 

Menurut Daniel, dalam versi baru film G30S PKI ini juga perlu mendengarkan respons tentang kudeta PKI, serta dugaan keterlibatan orang-orang yang menjadi bagian gerakan PKI, dan tindakan diskriminasi yang mereka alami selama ini. 

“Tugas pemerintahan Jokowi sekarang buat film yang pertama-tama harus diselesaikan pengungkapan kebenaran dulu. Pengungkapan kebenaran untuk penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu ini yang pertama dilakukan,” kata Daniel. 

Daniel mengingatkan, pemutaran film lama tentang PKI ini bisa mempunyai dampak politik. Dalam hal ini, ia menilai pemerintah dalam posisi dilematis. Di satu sisi, kata Daniel, pemerintah bisa dicap pro-komunis apabila tidak menayangkan film tersebut, akan tetapi jika diputar kembali berarti pemerintah menyebar hoax. 

Ia juga tidak mempermasalahkan langkah yang diambil pemerintah untuk rekonsiliasi, dengan mediasi maupun hukum. Setelah semua selesai, baru pemerintah fokus pada pembuatan film baru. 

“Kalau buru-buru membuat film, kebenarannya sendiri belum terungkap, ini kan filmnya nanti jadi film apa?” kata Daniel. 

Hal senada diungkapkan peneliti Amnesty Internasional, Bramantya Basuki. Ia menilai, saat ini permasalahan yang harus diselesaikan terlebih dahulu bukan soal kehadiran film baru, melainkan pemerintah harus menguak kebenaran sejarah. 

“Ketika nanti di depannya apakah output-nya jadi semacam film dokumenter atau apapun, itu silakan kepada pemerintah. Tetapi proses untuk menuju pengungkapan kebenaran itu yang penting,” kata Bram di Gedung Ombudsman RI, Kuningan, Jakarta, Selasa. 

Bram mengingatkan, rencana pemutaran kembali film Penumpasan Penghianatan G30S PKI ini dapat menimbulkan dampak negatif. Bram menyatakan, hal tersebut bisa menimbulkan ketakutan baru, apalagi pasca aksi ricuh massa di YLBHI, Senin (18/9/2017) dini hari. 

Sementara itu, peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Erasmus Napitupulu berharap, film baru soal G30S/PKI yang akan dikeluarkan pemerintah tidak berbentuk propaganda. Sebab Erasmus khawatir, dampak masa lalu justru akan muncul jika Pemerintah Jokowi sekadar membuat ulang video tersebut. 

“Kalau masih model propaganda Orba dampaknya pasti sama seperti dulu, persekusi dan stigmatisasi bisa terus terjadi,” kata Erasmus di Gedung Ombudsman RI, Kuningan, Jakarta. 

Erasmus mengatakan, ICJR mendukung pemerintah untuk membuat film baru yang memuat fakta dan pelurusan sejarah. Menurutnya pemerintah harus memaparkan apa maksud merevisi film yang diproduksi di era Orde Baru tersebut. 

“Kalau kita masih belum bisa menemukan konteks baru, menemukan fakta baru itu, maka saya rasa jadi pertanyaan balik, jadi yang dimau Presiden Jokowi itu apa?” kata Erasmus. 

Film Penumpasan Pengkhianatan G30S PKI adalah judul film dokudrama propaganda Indonesia pada 1984 yang disutradarai dan ditulis oleh Arifin C Noer. Film ini diproduksi selama dua tahun dengan anggaran sebesar Rp800 juta kala itu yang disponsori oleh rezim Orde Baru. 

Dalam laporan Antara, pada September 1998, Menteri Penerangan Yunus Yosfiah mengumumkan film tersebut dihentikan peredaran dan pemutarannya karena berbau rekayasa sejarah dan mengultuskan seorang presiden. 

Setelah hampir 20  tahun tidak tayang, film G30S/PKI ini rencana akan diputar ulang pada 30 September 2017 mendatang. TNI AD telah mengirim surat edaran ke seluruh jajarannya untuk melakukan sosialisasi kepada masyarakat. 

Menanggapi hal tersebut, Presiden Jokowi menyatakan menonton film tersebut adalah penting. Ia bahkan mengusulkan adanya pembuatan film dalam format yang baru agar anak generasi sekarang lebih mudah memahaminya. 

"Akan lebih baik kalau ada versi yang paling baru, agar lebih kekinian, bisa masuk ke generasi-generasi milenial,” kata Jokowi usai meresmikan Jembatan Gantung Mangunsuko, di Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang, (18/9/2017) siang, seperti dilansir setkab.go.id. 

Baca juga artikel terkait FILM G30SPKI atau tulisan menarik lainnya Andrian Pratama Taher (tirto.id - thr/abd)

Elviana: Kepala Daerah Jangan Bangga dengan WTP, Tidak Ada Hubungan WTP dengan Kesejahteraan rakyat

Hj Elviana (DPR RI)
JAMBI, MERDEKAPOST.NET - Di Jambi, baru-baru ini sejumlah daerah sukses meraih Predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) terhadap laporan keuangan daerahnya.

Namun kepala daerah jangan bangga dulu. Karena predikat WTP bukanlah jaminan jika tidak ada penyimpangan dalam pengelolaan keuangan. Apalagi indikator kesuksesan.

Anggota DPR RI, dari PPP, Elviana mengatakan WTP itu hanya sebatas pemeriksaan laporan keuangan apakah sudah sesuai dengan standar akuntansi keuangan. Data laporan yang diambil pun sampling, tidak semua. 

"Jadi tidak perlu dibanggakan karena itu sudah kewajiban pemda membuat laporan keuangan sesuai standar akuntansi keuangan. Tidak ada hubungannya dengan kesejahteraan rakyat,"katanya.

Ia juga menambahkan jika predikat WTP bukan jaminan jika kepala daerahnya bebas korupsi. Karena BPK sendiri mengatakan tidak menjamin kepala daerahnya bersih dari korupsi. 

"Jangan sampai jadi pembodohan buat rakyat,"katanya.

Ia pun menceritakan pengalamannya saat melakukan fit and proper tes terhadap calon anggota BPK RI.

"Satu calon anggota BPK RI yang kami fit & proper di komisi XI Bulan April kemarin mengatakan memang tidak ada hubungan antara WTP dengan kesejahteraan rakyat,"katanya.

Makanya, WTP adalah kewajiban pengguna anggaran membuat laporan keuangan sesuai standar akuntansi keuangan.(ald/am)

Ambang Batas Sengketa Pilkada, Bagaimana dengan Kejahatan Pilkada yang TSM?

Ambang Batas Sengketa Pilkada, Bagaimana dengan Kejahatan Pilkada yang TSM?
SAlDI ISRA

"Bagaimanapun, kepala daerah dan wakil kepala daerah tidak boleh diisi oleh mereka yang meraih dukungan dengan cara yang curang. Dalam konteks itu, peranti ambang batas tidak boleh dijadikan sebagai tameng guna melindungi pelanggaran yang nyata-nyata memenuhi unsur TSM".

Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Serentak Tahun 2015 memasuki tahap-tahap akhir. Setelah pemungutan suara yang berlangsung aman pada 9 Desember 2015, rekapitulasi perhitungan dan penetapan calon terpilih pun telah selesai dilakukan.

Kini pasangan calon yang tidak menerima penetapan calon terpilih sedang berupaya mengubah nasib melalui proses penyelesaian sengketa hasil pemilihan ke Mahkamah Konstitusi. Melacak tenggat waktu yang disediakan, permohonan sengketa hasil diajukan paling lambat dalam waktu 3x24 jam sejak Komisi Pemilihan Umum Daerah menetapkan perolehan suara hasil pemilihan.

Berbeda dengan penyelesaian sengketa hasil pemilihan kepala daerah sebelumnya, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan Wali Kota dan Wakil Wali Kota (UU No 8/2015) memberikan ambang batas bagi pasangan calon untuk dapat mengajukan sengketa hasil ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Pada penyelenggaraan pemilihan sebelumnya semua pasangan calon yang tidak menerima hasil penetapan calon terpilih dapat mengajukan sengketa ke MK. Saat ini dengan UU No 8/2015 tidak semua pasangan calon dapat mengajukan sengketa hasil ke Medan Merdeka Barat. Berdasarkan ketentuan UU No 8/2015, pasangan calon yang diperkenankan untuk mengajukan permohonan ke MK hanya dengan selisih tertentu.

Dalam Pasal158 ayat (1) UU 8/2015 dinyatakan bahwa pasangan calon gubernur dan wakil gubernur dapat mengajukan permohonan dengan selisih peraih suara terbesar paling banyak 2%. Batas suara tersebut bila jumlah penduduk di provinsi bersangkutan sama atau di bawah 2 juta. Dalam hal jumlah penduduk 2-6 juta, batas pengajuan sengketa 1 1/2%. Penduduk provinsi dalam kisaran 6-12 juta, ambang batasnya 1%. Terakhir, jumlah penduduk lebih besar dari 1 juta, ambang batas 1 1/2%.

Tidak hanya diatur dalam UU No 8/ 2015, sebagai institusi yang memiliki wewenang untuk menyelesaikan sengketa hasil pemilihan kepala daerah, secara formal, pembatasan tersebut juga dituangkan dalam hukum acara MK. Pengaturan tersebut dapat dibaca dalam Peraturan MKNo 1 Tahun 2015 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (PMK No 1/2015).

Dengan ada PMK No 1/ 2015 tersebut, posisi ambang batas pengajuan sengketa semakin kuat. Artinya, merujuk penetapan pasangan calon terpilih hasil pemilihan serentak, dapat dipastikan permohonan sengketa hasil ke MK menjadi sangat terbatas.
Pertanyaan mendasar yang sangat menggelitik: bagaimana jika terjadi pelanggaran yang bersifat terstruktur, masif, dan sistematis (TSM) dalam proses pemilihan, sementara selisih suara berada di luar ambang batas?
Apakah dengan begitu ambang batas tersebut harus dipertahankan sehingga pasangan calon yang terindikasi kuat meraih suara terbesar karena pelanggaran yang bersifat TSM dibiarkan melenggang menjadi kepala daerah/wakil kepala daerah? Jikalau demikian, apakah ambang batas tidak mengukuhkan demokrasi prosedural?

Dasar Pemikiran

Jika ditelusuri pengalaman penyelesaian perselisihan hasil pemilihan kepala daerah sedikit ke belakang, ruang menggunakan jalur ke MK tak sepenuhnya murni digunakan pasangan calon untuk mengoreksi kesalahan penghitungan suara yang memengaruhi terpilihnya pasangan calon. Sejumlah fakta menunjukkan, sebagian pasangan yang kalah dalam proses pemilihan seperti berupaya memakai jalur ke MK menjadi jalan pintas untuk mengoreksi suara rakyat.

Contoh yang paling menonjol, meski bentangan fakta menunjukkan terjadi selisih suara sangat mencolok, pasangan calon yang kalah tetap memilih jalan mengajukan sengketa ke MK. Padahal, dalam batas penalaran yang wajar, perbedaan suara tak mungkin dibuktikan sebagai akibat dari kesalahan perhitungan.

Pilihan menggunakan jalur MK menjadi seperti berubah menjadi modus baru ketika muncul alasan multitafsir mengajukan sengketa yaitu terjadi pelanggaran yang bersifat TSM. Dengan alasan tersebut, penyelesaian sengketa ke MK tak ubahnya seperti keranjang sampah ketidaksiapan pelaku politik kontestasi pengisian jabatan kepala daerah menerima pilihan rakyat.

Meskipun sebagiannya terkesan coba-coba, pilihan ke MK tetap dilakukan karena sebagiannya juga berupaya memanfaatkan kemungkinan ”perilaku liar” hakim MK. Paling tidak, pengalaman yang menimpa Akil Mochtar menjadi bukti pemanfaatan tersebut. Tanpa pembatasan, MK berubah menjadi tumpukan perkara penyelesaian sengketa penyelesaian pemilihan kepala daerah.

Pada salah satu sisi, disebabkan jumlah hakim yang terbatas (yaitu sembilan orang) dan di sisi lain jumlah permohonan sengketa yang menumpuk, MK harus lebih konsentrasi menyelesaikan sengketa pemilihan kepala daerah. Akibatnya, MK memiliki waktu yang terbatas untuk menyelesaikan wewenang konstitusional terutama pengujian undangundang (judicial review) terhadap undang-undang dasar sebagaimana diatur Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945.

Apalagi, sebelum dilakukan secara serentak, agenda pilkada hampir dilaksanakan sepanjang tahun. Dengan penyelenggaraan demikian, sepanjang tahun pula MK harus membagi perhatian dengan kewajiban menyelesaikan permohonan sengketa pilkada.

Karena itu, saya pernah mengemukakan, sekiranya dilakukan tanpa pengaturan yang lebih ketat pihak-pihak yang dapat mengajukan sengketa pilkada, MK potensial kehilangan fokus melaksanakan wewenang dalam UUD 1945 terutama judicial review. Padahal, sebagai salah satu pemegang kekuasaan kehakiman, judicial review merupakan mahkota MK.

Demokrasi Substansial

Sejak semula, saya termasuk yang mendorong ada pembatasan persentase tertentu untuk dapat mengajukan permohonan sengketa ke MK. Kendati demikian, pembatasan tersebut tidak dimaksudkan untuk menghilangkan kesempatan bagi pasangan calon yang merasa dicurangi secara total memilih jalur ke MK.

Artinya, ambang batas masih dapat diterobos melalui mekanisme pemeriksaan pendahuluan (dismissal process) sepanjang pemohon mampu menunjukkan bukti-bukti yang sangat kuat telah terjadi pelanggaran yang bersifat TSM. Bila dalam proses awal bukti-bukti tidak kuat, ambang batas diperlakukan secara ketat.

Dalam batas penalaran yang wajar, dengan ada pemeriksaan pendahuluan, ruang menghidupkan terobosan yang telah dilakukan MK dalam memeriksa permohonan yang mengindikasikan ada pelanggaran yang bersifat TSM tetap bisa dipertahankan. Misalnya, dalam Putusan No 57/PHPU.D-VI/2008 MK menyatakan bahwa konstitusi dan Undang-Undang MK yang menempatkan MK sebagai pengawal konstitusi sehingga berwenang memutus perkara pelanggaran atas prinsip-prinsip pemilu dan pilkada.

Selain itu, MK juga pernah memutuskan bahwa dalam mengawal konstitusi, MK tak dapat membiarkan dirinya dipasung oleh keadilan prosedural (procedural justice) semata-mata, melainkan juga harus mewujudkan keadilan substansial. Banyak kalangan percaya, ketika PMK No 1/2015 membuka tahapan pemeriksaan pendahuluan, MK sebetulnya tidak hendak mematikan peluang pasangan calon yang tidak memenuhi ambang batas.

Artinya, dengan ada pemeriksaan pendahuluan, semua permohonan yang masuk ke MK akan dinilai terlebih dahulu pada tahapan ini. Sepanjang pemohon dapat menunjukkan bukti-bukti yang kuat telah terjadi pelanggaran yang bersifat TSM dan bukti-bukti tersebut mampu memberikan keyakinan pada hakim, ambang batas jangan dijadikan sebagai instrumen untuk membunuh upaya pencarian keadilan substantif.

Bagaimanapun, kepala daerah dan wakil kepala daerah tidak boleh diisi oleh mereka yang meraih dukungan dengan cara yang curang. Dalam konteks itu, peranti ambang batas tidak boleh dijadikan sebagai tameng guna melindungi pelanggaran yang nyata-nyata memenuhi unsur TSM.

SALDI ISRA
Guru Besar Hukum Tata Negara dan
Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO)
Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang

Waspadai Munuculnya Konflik di Pilkada Serentak 2015

Waspadai Munuculnya Konflik di Pilkada Serentak 2015
PILKADA serentak merupakan sebuah pilihan demokrasi. Pemerintah akan melaksanakan Pilkada serentak di 263 provinsi, kota, dan kabupaten.Rakyat akan memilih calon kepala daerah dan wakil kepala daerah secara bersamaan, yang akan dilaksanakan pada Desember 20015 mendatang.

Hajat besar pemerintah akan melaksanakan Pilkada serentak 2015 secara otomatis akan berpengaruh pada konstalasi politik di masing-masing daerah yang melaksanakan Pilkada. Menyikapi kondisi tersebut semua pihak perlu hati-hati agar tidak muncul percikan yang berpotensi menjadi bibit konflik, baik antar pendukung, atau konflik atas provokasi pihak lain yang ingin menciptakan kegaduhan dalam Pilkada serentak.

Dilihat dari sisi waktu pelaksanaan Pilkada serentak tinggal menghitung bulan, yakni Desember 2015, kekhawatiran akan munculnya gangguan keamanan dalam pelaksanaan Pilkada merupakan sikap kehati-hatian yang patut dicermati. Kondisi tersebut tentu menjadi tantangan bagi semua pihak bagaimana bisa menciptakan situasi yang kondusif jelang maupun pasca pelaksanaan Pilkada serentak.

Munculnya kekhawatiran berbagai pihak sejak jauh-jauh hari, para pengamat, tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat, penegak hukum, menghimbau kepada seluruh masyarakat agar menyikapi persoalan Pilkada secara dewasa. Dewasa dalam berpolitik, dewasa dalam bertindak dan dewasa dalam bersikap, sehingga tidak menjadi provokasi yang dapat memunculkan permasalahan baru dalam Pilkada.

Peserta Pilkada baik calon atau partai politik serta masyarakat pendukung pasangan hendaknya fokus pada apa bagaimana memenangkan pertarungan secara bersih jauh dari kata curang. Para politisi juga tidak perlu provokatif dalam bersikap, sehingga masyarakat mampu mencerna dan melihat permasalahan secara jernih yang muncul dalam Pilkada.

Faktor lain yang berpotensi dapat memicu konflik adalah terkait netralitas penyelenggara pemilu yang tidak profesional dan berintegritas. Kondisi tersebut perlu dijawab dengan profesionalitas para petugas dilapangan sehingga tidak memihak salah satu calon. Hal ini merupakan tantangan bagi para penyelenggara agar terus berintrospeksi diri dan bersikap profesional dalam menjalankan tugas-tugas dilapangan. Andil mereka sangat besar dalam menciptakan suksesnya Pilkada serentak.
Sedangkan disisi lain adalah keterlibatan Polri dan TNI yang dianggap tidak netral. Kekhawatiran TNI dan Polri tidak netral menjadi permasalahan yang patut kita renungkan. Banyak kasus dalam Pemilu atau Pilkada sebelumnya yang melibatkan oknum-oknum baik dari TNI maupun Polri. Mereka terkadang berperan ganda berdiri sebagai TNI/Polri sekaligus menjadi pendukung calon tertentu.

Fungsi pengamanan dan pengawalan mereka menjadi hambar karena memihak salah satu calon. Hal tersebut dapat memunculkan konflik panjang dan akan menjadi temuan yang bisa mengarah pada pelaksanaan pilkada diulang. Jika hal demikian terjadi makan potensi anggaran pelaksanaan pilkada membengkak tidak bisa dihindarkan.

Media massa juga memiliki peran yang sangat besar dalam menciptakan pilkada yang damai. Menjadi sebuah keharusan bahwa penting bagi media masa menyajikan informasi-informasi yang berimbang dalam pemberitaan Pilkada. Informasi-informasi yang disajikan sesuai dengan kaidah-kaidah jurnalistik, sehingga masyarakat dapat menerima informasi secara utuh dan tidak provokatif.
Hal yang tidak perlu dilupakan oleh para penyelenggara pilkada adalah pemilih. Pemilih merupakan pemilik suara yang patut diperhatikan hak-hak secara maksimal dalam menggunakan suara di TPS. Satu suara pemilih memiliki arti yang sangat besar bagi pemenangan pasangan calon kepala daerah. Jika pemilik hak suara tidak diakomodir dengan baik, berpotensi memunculkan permasalahan baru. Disini akan menjadi pertaruhan bagi penyelenggara sehingga dapat mengkomodir semua pihak.

Agenda penting semua elemen masyarakat dalam pelaksanaan Pilkada serentak 2015 adalah meminimalisir potensi konflik sehingga pilkada berjalan aman dan kondusif. Dengan situasi yang demikian diharapkan dapat menghadirkan para pemimpin yang mampu membawa masyarakat memiliki kehidupan yang lebih baik. Suksesnya Pilkada serentak merupakan suksesnya semua masyarakat dalam menerapkan demokrasi.

(Hendriwan Angkasa, Tanah Sereal, Tambora, Jakarta)

Berita Terpopuler

Copyright © MERDEKAPOST.COM. All rights reserved.
Redaksi | Pedoman Media Cyber | Network | Disclaimer | Karir | Peta Situs