Rumah Murah yang Tak Lagi Murah

Naiknya harga hanya menguntungkan para pengembang?

Merdekapost - Harga rumah tapak sederhana atau dikenal dengan sebutan rumah murah akhirnya diputuskan pemerintah naik kembali, setelah dua tahun lamanya tak beranjak naik. 

Kenaikan ini berdasarkan usulan asosiasi pengembang yang tergabung dalam Real Estate Indonesia (REI), yang berteriak dengan naiknya harga bahan bakar minyak dan komponen bahan pokok bangunan membuat keuntungan mereka mengecil.

Menteri Perumahan Rakyat, Djan Faridz, ketika ditemui dalam acara Musyawarah Nasional REI, Senin 25 November 2013, mengungkapkan bahwa persetujuan kenaikan harga itu sudah dikeluarkan sekitar sebulan lalu. "Dari Kemenpera sudah keluar persetujuannya, sekarang tinggal menunggu dari Menteri Keuangan," katanya.

Keputusan Menteri Keuangan, menurut dia, adalah untuk mendapatkan persetujuan bebas pajak pertambahan nilai (PPN) dari semestinya 10 persen menjadi nol persen. Sedangkan kenaikan harga rumah sebesar 30 persen tersebut, sesuai dengan yang diusulkan REI. 

Harga rumah sekarang yang termurah di zona satu (di luar Jabodetabek dan non Papua), seperti Sumatera dan Sulawesi naik dari Rp88 juta menjadi Rp105 juta.

Sementara itu, untuk rumah murah di zona dua atau Jabodetabek, naik dari Rp95 juta menjadi Rp115 juta. Kemudian, untuk zona tiga (Papua) dari Rp145 juta menjadi Rp165 juta per unit.

Mulai saat ini, menurut Djan, para pengembang sudah bisa menjual dengan harga baru. Namun, untuk pembeli, jika membeli saat ini, belum bisa mendapatkan keringanan pajak. "Untuk itu, kami masih menunggu peraturan Menteri Keuangan," katanya.

Ketua Umum DPP REI, Setyo Maharso, mengaku bahwa usulan kenaikan rumah ini memang berasal dari usulan asosiasi yang dipimpinnya. Pengajuan usulan kenaikan harga rumah murah didasarkan pada tidak mampunya pengembang membangun rumah kembali setelah menjual proyeknya.

Hal ini, karena harga bahan pokok untuk membangun rumah sudah melambung tinggi di luar perkiraan, khususnya harga tanah. Hal itu, menyebabkan ongkos produksi dan harga jual hanya terpaut amat tipis.

Namun, kenaikan ini masih lebih rendah daripada tuntutan yang diajukan REI kepada pemerintah. Menurut Setyo, nilai yang diajukan REI adalah Rp110-120 juta untuk rumah di zona 1. Sedangkan pemerintah hanya menyetujui kenaikan hingga Rp105 juta dari Rp88 juta per unit.

Setyo mengakui, akan melihat terlebih dulu dampak kenaikan harga ini pada naiknya pendapatan pengembang dan apakah sesuai terhadap naiknya harga tanah. "Kita lihat dulu nanti bagaimana ke depannya, kalau sekarang ini saya belum bisa berbicara banyak," katanya.

Kendati demikian, dia mengungkapkan bahwa kenaikan ini malahan membuat para pengembang khawatir. Sebab, perubahan harga ini juga dihantam naiknya suku bunga acuan perbankan menjadi 7,5 persen. "Sehingga, perubahan harga tidak serta merta menjawab harapan pengembang," ujar Setyo.

Sedangkan mengenai masalah daya beli masyarakat yang akan semakin menurun dengan kenaikan harga, Setyo mengatakan bahwa pemerintah mempunyai ornamen lainnya. Caranya adalah dengan memperpanjang tenor pembayaran perumahan menjadi 20-25 tahun.

Dengan cara tersebut, cicilan yang akan dibayarkan masyarakat juga akan semakin ringan. Dengan demikian, diharapkan daya beli masyarakat tidak akan anjlok terlalu parah.

Pengembang untung
Kenaikan harga rumah mungil yang diperuntukkan bagi masyarakat menengah bawah (MBR) tersebut, dinilai pengamat memang hanya menguntungkan pengembang dan berpotensi membuat kaum papa sulit untuk memiliki hunian. 

Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch, Ali Tranghanda menilai dari sisi pengembang, harga rumah memang harus naik karena biaya produksi sudah tinggi. Namun, dengam kondisi seperti itu, mau tidak mau semakin tidak terjangkau bagi MBR akibat pemerintah yang tidak bisa menyediakan rumah bagi rakyatnya.

"Itu yang terjadi, kalau public housing (perumahan rakyat) sepenuhnya diserahkan ke swasta. Dan, ini gambaran sistem perumahan nasional yang buruk," kata dia kepadaVIVAnews, Senin.

Semestinya, menurut Ali, public housing dapat dikendalikan harganya oleh pemerintah. Jika, pemerintah mempunyai landbank (persedian lahan kosong) agar harga tidak selalu naik.

Pemerintah bisa menyediakan landbank dengan cara mengharuskan setiap pemerintah daerah menyiapkan ketersedian lahan. "Data aset-aset pemda yang sekarang banyak yang tidak terdata dan terpakai," ujarnya.

Selain itu, mengeluarkan peraturan yang mewajibkan perusahaan pelat merah atau BUMN menyerahkan lima persen asetnya sebagai landbank untuk pembangunan hunian murah bagi rakyat miskin. "Tanpa itu semua, harga rumah terus mahal dan MBR tak akan mampu," tegas Ali.

"Itulah yang kami bilang sistem perumahan nasional kita sangat buruk. Apalagi, tidak ada blue print perumahan nasional yang jelas," tambahnya.


Kaji PPN rumah murah 
Sementara itu, Kementerian Keuangan menyatakan masih mengkaji permintaan Kemenpera untuk menghapuskan PPN rumah murah yang dikenakan saat ini sebesar 10 persen. 

Permintaan itu diajukan, mengingat harga rumah telah ditetapkan untuk dinaikan ke depannya. 

Menteri Keuangan Chatib Basri di kantornya, Jakarta, Senin, mengungkapkan bahwa pembahasan mengenai insentif tersebut masih berkutat seputar tarif yang akan ditetapkan, apakah akan di nol kan semua atau diturunkan tarifnya. "Itu yang kita lagi bahas, mana yang paling baik," ujarnya. 

Chatib berharap dalam waktu dekat finalisasi tersebut sudah ditetapkan dan diimplementasikan. "Mudah-mudahan cepat waktunya," tambahnya. 

Kepada VIVAnews, Direktur Jenderal Pajak, Kementerian Keuangan, Fuad Rahmany menjelaskan, nantinya peraturan PPN rumah murah tersebut akan lebih diperinci, antara lain pengenaan tarif berdasaran tipe atau lokasi perumahan itu berada. 

"Iya akan lebih detail lagi, ada zoning-zoningnnya itu akan dibanyak misalnya Jabodetabek berapa," tambahnya. 

Dia menjelaskan alasan kenapa hingga saat ini kebijakan tersebut belum dikeluarkan. Kementerian Keuangan, menurutnya, ingin memastikan kebijakan tersebut nantinya dapat bermanfaat bagi rakyat dan diterapkan secara optimal. 

"Pak Menteri menginginkan agar rumusannya dibuat sebaik mungkin agar benar-benar tepat sasaran dan rakyat memperoleh rumah selayak mungkin, makanya akan lebih didetailkan lagi," ungkapnya.


Harga rumah naik 1.500%
Sementara itu, Ali Tranghanda kembali menegaskan bahwa pemerintah telah berbuat salah dengan melepaskan kendali harga rumah untuk MBR kepada mekanisme pasar. Sebab, kebijakan itu memicu lonjakan harga rumah, termasuk yang disubsidi pemerintah.

"Pemerintah selama ini salah dalam mengelola public housing, khususnya rumah murah untuk masyarakat menengah ke bawah," katanya.

Lanjut Ali, pengelolaan public housing harus dilakukan sendiri oleh pemerintah, sehingga harga rumah bisa diatur dan dipatok. Dengan kata lain, harga tidak diserahkan kepada mekanisme pasar.

Namun, selama ini hal tersebut tidak terjadi. Sebab, kenaikan harga rumah dalam sepuluh tahun terakhir tercatat sebanyak 1.500 persen. Hal ini, tidak berbanding lurus dengan naiknya pendapatan masyarakat berpenghasilan rendah.

Sedangkan jumlah kekurangan rumah (backlog), menurut Ali, sudah naik dua kali lipat menjadi 21,7 juta unit rumah pada tahun ini.

"Artinya, program subsidi pemerintah yang berfokus pada masyarakat menengah bawah tidak membuahkan hasil maksimal. Di sisi lain, kaum menengah setingkat manajer dengan penghasilan Rp2,5 juta hingga Rp7 juta pun sulit untuk membeli rumah," ujar Ali.

Dia memaparkan, dengan penghasilan tersebut, mereka diperkirakan memiliki daya cicil Rp1 juta hingga Rp2,5 juta per bulan. Dengan kondisi ini, mereka hanya dapat membeli rumah seharga Rp150 juta hingga Rp200 juta.

Daya beli ini, belum termasuk kemampuan uang muka yang umumnya menjadi salah satu faktor penghambat untuk dapat merealisasikan pembelian rumahnya. Mengenai aturan uang muka, lengkapnya buka tautan ini.

Dengan harga rumah seperti itu, tentunya akan sulit untuk mempunyai rumah di wilayah Jabodetabek. Kalaupun ada, mereka harus memperhitungkan biaya transportasi setiap harinya untuk bekerja di Jakarta sebagai kaum komuter. 

"Karena lokasi rumah tersebut mempunyai jarak tempuh yang jauh dari tempat mereka kerja di Jakarta," imbuhnya.

Yang terjadi kemudian adalah mereka tidak menempati rumah yang ada dan dibiarkan kosong dan kembali menyewa hunian di Jakarta. "Dengan demikian, uang cicilan akan tergerus dengan biaya indekos atau sewa rumah di Jakarta," ujar Ali.

Sementara itu, dikutip dari survei Bank Indonesia bertajuk survei harga properti residensial pada kuartal III-2013, total kredit pemilikan rumah (KPR) tercatat Rp274,46 triliun atau tumbuh 5,61 persen dibanding kuartal yang sama tahun lalu. Pertumbuhan KPR itu juga lebih tinggi dibanding total kredit perbankan yang sebesar 0,17 persen.

Dari total KPR yang dikucurkan oleh bank dari Januari hingga September 2013, sebanyak 5,75 persen memanfaatkan fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP) dari pemerintah atau KPR bersubsidi, sedangkan selebihnya 94,25 persen melalui KPR biasa (non FLPP).

Namun, jika dibandingkan dengan target pencairan, KPR bersubsidi FLPP untuk golongan masyarakat berpenghasilan rendah mengalami percepatan pemanfaatan selama kuartal III-2013.

Pencairan FLPP hingga kuartal III tahun ini sebesar 56,07 persen dari Rp7,34 triliun total dana yang ditargetkan selama 2013 dan sisa dana yang belum terserap pada 2012. Dengan demikian, terdapat 43,93  persen atau Rp3,22 triliun dana yang belum dimanfaatkan oleh masyarakat berpenghasilan rendah. 

Adapun, total rumah yang telah didanai menggunakan KPR bersubsidi sebanyak 12.800 unit rumah. Dana tersebut dinilai cukup untuk membiayai 350.000 unit rumah. 

Seperti diketahui, keuntungan menggunakan FLPP atau KPR bersubsidi adalah masyarakat menengah ke bawah dapat memperoleh cicilan rumah dengan bunga tetap sebesar 7,25 persen dengan jangka waktu cicilan maksimum 20 tahun.

Related Posts

0 Comments:

Posting Komentar





Berita Terpopuler

Copyright © MERDEKAPOST.COM. All rights reserved.
Redaksi | Pedoman Media Cyber | Network | Disclaimer | Karir | Peta Situs