![]() |
| Kekerasan terhadap Santri. Foto: Ilustrasi |
Merdekapost.com | Merangin – Dunia pendidikan kembali tercoreng. Dua oknum ustadz di salah satu pondok pesantren di Kabupaten Merangin diduga melakukan tindakan kekerasan terhadap santri mereka. Aksi tersebut berupa penamparan dan pencekikan terhadap dua santri laki-laki berusia 15 tahun.
Pondok pesantren sejatinya merupakan ruang aman bagi santri dan santriwati, bebas dari bullying serta segala bentuk kekerasan, baik antar sesama santri maupun antara pendidik dan murid. Namun dugaan kasus ini justru menimbulkan keprihatinan mendalam di tengah masyarakat.
Korban dalam peristiwa ini berinisial KG dan MZ, santri Pondok Pesantren Darul Qur’an Al-Irsyadiyah. Sementara dua terduga pelaku merupakan oknum ustadz berinisial MD dan BA. Peristiwa tersebut diduga terjadi pada 31 September 2025 dan telah dilaporkan secara resmi ke pihak berwajib pada 2 Oktober 2025.
Sumber keluarga korban, Tesha Yulia, yang merupakan kakak kandung salah satu korban, menjelaskan kronologi kejadian. Ia menyebutkan bahwa setelah korban ditampar, salah satu ustadz mengusir adiknya sekitar pukul 23.30 WIB. Akibatnya, korban terpaksa berjalan kaki dari pesantren menuju rumah keluarga mereka di wilayah Tabir Ilir pada malam hari.
“Setelah ditampar, adik saya diusir tengah malam. Dia pulang berjalan kaki dari pesantren ke rumah kami,” ujar Tesha Yulia.
Lebih lanjut, pihak keluarga menyayangkan tindakan kekerasan tersebut. Menurut mereka, sekalipun santri melakukan kesalahan, menegur dengan kekerasan bukanlah solusi dan bertentangan dengan Undang-Undang Perlindungan Anak. Tindakan tersebut dinilai dapat berdampak serius terhadap kondisi mental dan psikologis anak.
Pihak keluarga juga mengungkapkan bahwa dugaan kekerasan di pesantren tersebut bukan kali pertama terjadi. Namun, korban-korban sebelumnya diduga memilih bungkam.
Upaya klarifikasi telah dilakukan dengan menemui pimpinan pesantren, disertai kehadiran dua oknum ustadz yang diduga terlibat. Namun dalam pertemuan tersebut, menurut keluarga korban, para terduga pelaku mengakui tindakan mereka dilakukan dalam keadaan emosi dan tidak menyampaikan permintaan maaf kepada korban maupun keluarga.
Kasus ini telah dimediasi di Polres Merangin, namun hingga kini belum menemukan titik terang atau kesepakatan. Di sisi lain, beredar isu di masyarakat bahwa kasus tersebut telah “diselesaikan secara damai” dengan pembayaran uang sebesar Rp30 juta kepada korban. Namun pihak keluarga menegaskan bahwa korban tidak pernah menerima uang sebagaimana isu yang beredar.
Kini dari pihak keluarga mempertanyakan, siapa yang bertanggung jawab atas kejadian ini, serta siapa yang bertanggung jawab atas terganggunya kondisi mental dan psikologis anak-anak tersebut.
Kasus ini masih menjadi perhatian publik dan diharapkan aparat penegak hukum dapat menangani secara transparan dan adil demi perlindungan hak anak serta marwah dunia pendidikan, khususnya lembaga pendidikan berbasis keagamaan. (rdp/*)
