Menakar Rasionalitas Kejaksaan dalam Pengelolaan Aset Sitaan PT PAL

Menakar Rasionalitas Kejaksaan dalam Pengelolaan Aset Sitaan PT PAL

Analisa oleh Roland Pramudiansyah*

Di tengah hiruk pikuk dinamika penegakan hukum yang terus bergerak, publik sering kali hanya melihat hasil akhir seperti penetapan tersangka, penahanan, atau putusan majelis hakim. Namun di balik satu tindakan hukum, selalu ada dasar normatif, ukuran profesional, serta standar objektivitas yang dapat diuji. Tulisan ini berdiri pada kerangka tersebut bukan sebagai juru bicara institusi mana pun, tetapi sebagai hasil pembacaan independen atas hukum acara pidana, doktrin hukum, yurisprudensi, dan pola penindakan di berbagai perkara yang memiliki kesamaan fakta hukum.

Kejaksaan, sebagai dominus litis, memiliki mandat Pasal 30 ayat (1) huruf a Undang-Undang Kejaksaan untuk melakukan penyidikan pada tindak pidana tertentu. Dalam konteks itu, hukum memerintahkan bahwa setiap tindakan harus melalui tiga syarat utama: (1) kecukupan bukti, (2) legalitas tindakan, dan (3) proporsionalitas. Standar ini ditegaskan dalam putusan-putusan kunci seperti Putusan MA No. 153 K/Pid.Sus/2013, Putusan MA No. 1144 K/Pid.Sus/2015, dan beberapa putusan lain yang menekankan bahwa tindakan penyidik harus selalu dapat diuji rasionalitas hukumnya.

Penegakan hukum tidak bekerja di ruang kosong. Ia bergerak mengikuti rute yang dibatasi KUHAP, Undang-Undang Kejaksaan, doktrin yurisprudensi, serta prinsip kehati-hatian yang telah menjadi standar etik bagi setiap aparat penegak hukum. Karena itu, setiap tindakan penyidik termasuk penyitaan dan pemanfaatan barang bukti tidak boleh dibaca sebagai manuver subjektif, melainkan sebagai konsekuensi logis dari hukum acara pidana.

Roland Pramudiansyah. (Ketua Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia (PERMAHI) Provinsi Jambi)

Tulisan ini disusun bukan sebagai pembelaan institusi mana pun. Saya bukan humas Kejaksaan, bukan corong PT MMJ, dan bukan pula juru bicara PT PAL. Ini adalah pembacaan hukum yang independen: menganalisis apa yang seharusnya, apa dasarnya, dan bagaimana praktik lembaga lain melakukan tindakan identik tanpa menuai salah tafsir publik.

Penyitaan bukan tindakan suka-suka. Ia adalah perintah undang-undang.

Pasal 39 ayat (1) KUHAP mengatur bahwa barang yang diduga diperoleh dari tindak pidana atau dipakai untuk melakukan tindak pidana dapat disita.

Lalu bagaimana pemanfaatannya?

Tidak semua publik memahami bahwa KUHAP memberi dasar tegas, ketika saya memahami Pasal 45 KUHAP, bahwa Barang Bukti Boleh Dipinjamkan untuk Kepentingan Publik atau Pemiliknya, Dengan Syarat Tertentu.

Bunyi norma inti pasal itu adalah

“Benda sitaan dapat dipinjamkan kepada yang berkepentingan apabila hal itu diperlukan untuk kepentingan tertentu dan tidak menghilangkan fungsi pembuktian.”

Ini penting bahwa pemanfaatan aset sitaan secara terbatas tidak hanya diperbolehkan, tetapi telah menjadi praktik hukum acara yang sah.

Karena itu, ketika aset PT PAL dikelola atau dioperasionalkan secara terbatas pasca penyitaan, tindakan tersebut tidak melanggar KUHAP sepanjang fungsi pembuktian tidak rusak dan tidak mengurangi nilai barang bukti.

Yurisprudensi bahkan menguatkan hal ini. Putusan MA No. 153 K/Pid.Sus/2013 dan Putusan MA No. 1144 K/Pid.Sus/2015 sama-sama menegaskan dua prinsip:

  1. Penyidik wajib menjamin barang bukti berada dalam keadaan terjaga dan tidak menurunkan nilai ekonomisnya.
  2. Penguasaan oleh penyidik bukan berarti barang tidak boleh digunakan sepanjang tidak mengganggu pembuktian.

Inilah yang dilupakan sebagian orang yang mempersoalkan PT PAL, mereka keliru memaknai penyitaan sama seperti penghentian total operasional, padahal hukum acara tidak pernah memerintahkan demikian.

Secara normatif, setiap tindakan penyidik wajib memenuhi tiga syarat: 

  1. Kecukupan bukti (Pasal 184 KUHAP).
  2. Legalitas tindakan (Pasal 1 angka 16 KUHAP tentang tindakan penyidikan).
  3. Proporsionalitas dan akuntabilitas (asas equality before the law dalam Pasal 27 UUD 1945 serta asas due process of law).

Ketiga syarat ini juga lah yang dievaluasi publik terhadap Kejaksaan dalam kasus PT PAL. Namun bila ditarik secara dogmatis, penyitaan dan pengelolaan aset itu justru berada dalam rel hukum positif, bukan di luar rel.

Saya kira untuk memahami lanskap hukum Jambi hari ini, tidak adil jika mengabaikan fondasi yang dibangun oleh Kajati Jambi sebelumnya. Di internal Kejaksaan, dikenal sebagai salah satu dari sedikit Kajati di Indonesia yang memiliki kompetensi mendalam dalam hukum perbankan sebuah kekhususan yang jarang dimiliki pejabat setingkatnya.

Keahliannya dalam banking law bukan sekadar gelar akademik, tetapi diakui melalui penanganan perkara-perkara rumit yang melibatkan skema keuangan, rekayasa transaksi, hingga analisis pergerakan dana lintas rekening. Dalam banyak yurisprudensi Tipikor, pemahaman detail terhadap pola transaksi ini menjadi kunci mengungkap mens rea dan kerugian negara. Bahwa Jambi pernah berada dalam era penegakan hukum yang berorientasi pada presisi analisis finansial adalah bagian dari warisan Kajati Jambi yang saat ini menjabat sbg Kajati Jabar.

Demikian pula dengan Kajari Jambi, saat itu menjabat Aspidsus. Track recordnya menunjukkan kecermatan dalam konstruksi hukum, khususnya dalam meminimalkan risiko error in persona atau overcriminalization yaitu dua problem klasik dalam penindakan Tipikor yang kerap mengundang kontroversi.

Keduanya mewakili model kepemimpinan teknokratis yakni tidak gaduh, tetapi berbasis data, bukti, dan kerangka prosedural yang rapi.

Agar publik tidak terjebak dalam asumsi yang menyesatkan, saya sertakan perbandingan konkret dari lembaga lain: Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Kasusnya jelas, Rumah Sakit Reysa (Resya) Cikedung, Kabupaten Indramayu

1. Bahwa RS tsb Disita KPK dalam perkara Rohadi

2. ⁠Bahwa Status hukumnya merupakan barang bukti Tipikor

3. ⁠Namun… RS tidak dibiarkan kosong atau berhenti beroperasi.

Justru KPK meminjam pakaikan aset sitaan itu kepada Pemkab Indramayu untuk kepentingan publik dalam masa pandemi Covid-19.

Dan siapa pejabat yang memimpin kebijakan ini?

Plt Direktur Penuntutan KPK kala itu

Beliau lah yang menyerahkan RS Reysa ke Pemkab Indramayu dengan status pinjam pakai, sembari menegaskan,

“Silakan manfaatkan untuk kepentingan masyarakat Indramayu. Statusnya tetap barang bukti dan tidak menghilangkan proses hukum.” Plt Direktur KPK

Preseden ini sangat penting karena membuktikan:

  1. Penyitaan tidak otomatis melarang pemanfaatan terbatas barang bukti.
  2. Pengelolaan aset sitaan untuk kepentingan publik adalah tindakan sah dan beralasan hukum.
  3. Kejaksaan tidak “aneh” atau “melenceng” ketika melakukan pola serupa pada aset PT PAL.

Jika KPK yang selama ini dianggap paling ketat terhadap prosedur penindakan saja melakukan mekanisme yang sama, tuduhan terhadap Kejaksaan dalam kasus PT PAL menjadi tidak berdasar dan tidak memiliki pijakan hukum acara.

Masalah utama dalam polemik PT PAL adalah kesalahpahaman publik yang menyamakan bahwa kalau “disita” sama dengan “harus berhenti total dan dikunci mati.”

Padahal hukum acara pidana tidak pernah mengatur demikian.

Justru dalam Putusan MA No. 1261 K/Pid/2006 ditegaskan bahwa penyidik yang menunda penindakan atau tidak mengamankan barang bukti dengan cepat dapat dianggap melanggar asas celerity yakni asas kecepatan yang menjadi bagian dari due process.

Artinya, bahwa Penyidik wajib bertindak cepat bila syarat bukti telah terpenuhi.

Penundaan justru berpotensi melawan hukum.

Apa yang dilakukan Kejaksaan terhadap PT PAL bukan anomali, bukan langkah politis, bukan pula tindakan anti-populis. Ia berdiri di atas:

1. Pasal 39 dan Pasal 45 KUHAP

2. ⁠UU Kejaksaan

3. ⁠Yurisprudensi Mahkamah Agung

4. ⁠Preseden lembaga lain (sitaan KPK terhadap RS Reysa)

5. ⁠Standar kecukupan bukti dan proporsionalitas

Penegakan hukum memang harus diawasi. Tetapi pengawasan harus bersandar pada norma, bukan asumsi.

Sebagai mahasiswa hukum dan Ketua PERMAHI Jambi, tugas saya adalah menjaga nalar publik agar tetap berada dalam orbit hukum positif bahwa mengkritik bila ada cacat, mengapresiasi bila ada konsistensi, dan menolak setiap framing yang tidak paham dasar hukum acara.

Karena penegakan hukum yang bersih lahir dari dua hal, pertama integritas aparatnya, kemudian kedua kecerdasan publiknya dalam membaca hukum. Dan hari ini, kita punya kewajiban untuk menjaga keduanya.(*)

*Analisa oleh Roland Pramudiansyah. (Ketua Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia (PERMAHI) Provinsi Jambi)

Komisi Reformasi Baru Bekerja, MK Sudah Duluan Mereformasi Polisi

Komisi Reformasi Baru Bekerja, MK Sudah Duluan Mereformasi Polisi

Ada lelucon baru di republik ini. Ketika Komisi Reformasi Kepolisian baru mulai rapat perdana, Mahkamah Konstitusi (MK) sudah lebih dulu merombak setengah tubuh Polri, tanpa rapat, tanpa renstra, tanpa rengek. Ya, pada 13 November 2025, MK menjelma jadi tukang cukur kelembagaan, memangkas habis rambut-rambut liar kekuasaan seragam yang tumbuh di ranah sipil. Putusan Nomor 114/PUU-XXIII/2025 lahir bak petir di tengah seminar birokrasi yang penuh kata “sinergi”, “kolaborasi”, dan “koordinasi”, tapi jarang punya hasil.

MK menegaskan, polisi aktif tidak boleh lagi menjabat di jabatan sipil. Mau jadi Ketua KPK? Pensiun dulu. Mau duduk manis di BNN, BSSN, atau Sekjen KKP? Silakan, asal lepas seragam dulu. Frasa “penugasan Kapolri” yang selama ini jadi karpet merah menuju kursi empuk, resmi disapu bersih dari penjelasan Pasal 28 ayat (3) UU Kepolisian.

Begitu palu diketok, negeri ini seolah tersadar, kata “sipil” bukan akronim dari “si polisi ilegal lintas bidang.” MK, dengan gaya lembut tapi maut, menegur satu generasi birokrasi yang selama ini nyaman dalam area abu-abu antara konstitusi dan peraturan Kapolri. Ajaibnya, mereka melakukannya sebelum Komisi Reformasi Polri sempat memesan spanduk rapat pertamanya.

Sementara itu, Komisi Percepatan Reformasi Kepolisian bentukan Presiden Prabowo baru saja terbentuk enam hari sebelumnya, pada 7 November 2025. Dipimpin oleh Prof. Jimly Asshiddiqie, sang maestro hukum tata negara, komisi ini terdiri dari sepuluh tokoh, termasuk Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo. Dua tim reformasi pun lahir, satu tim internal Polri, satu komisi independen. Jimly berkata, “Kami bersinergi, bukan tumpang tindih.” Tapi setelah putusan MK, publik mulai bertanya, Sinergi yang mana, kalau MK sudah mencukur duluan?

Hakim MK, Saldi Isra langsung menembakkan peluru logika. Dalil “resiprokal” pemerintah untuk membenarkan rangkap jabatan dinilai ngawur. “Resiprokal itu untuk hubungan antarnegara,” katanya, “bukan antarpos jabatan di republik yang lupa batas.” Sedangkan Ketua MK Suhartoyo menolak dalih “aturan internal Polri” sebagai tameng hukum. Ia menegaskan, konstitusi tidak bisa dikalahkan oleh memo internal institusi.

Jangan lupakan tokoh penting di balik gugatan ini, Syamsul Jahidin dan Christian Adrianus Sihite, dua warga negara yang, entah karena idealisme atau lelah melihat wajah seragam di semua pos, berani mengetuk pintu MK. Kini, berkat mereka, konsep netralitas ASN hidup kembali dari kubur.

Di sisi lain, Komisi Jimly terus melanjutkan rapat mingguan setiap Kamis, membahas peta jalan reformasi Polri. Namun publik tahu, MK sudah memberi pelajaran pembuka, reformasi bukan dimulai dari rapat, tapi dari keberanian membedah yang tabu.

Kalau mau jujur, keputusan MK ini bukan hanya soal jabatan. Ini semacam eksorsisme konstitusional, mengusir roh-roh militeristik dari tubuh birokrasi sipil. Di negara yang gemar mencampur semua hal, politik dengan dakwah, hukum dengan gengsi, putusan MK adalah momen langka ketika garis batas kembali digambar.

So, sebelum Komisi Jimly sempat menulis laporan awal, MK sudah menulis bab pertama reformasi dengan tinta final dan mengikat. Ironis, tapi indah. Reformasi polisi dimulai bukan oleh polisi, melainkan oleh sembilan hakim berseragam toga.

Siapa tahu, dari sinilah republik ini belajar satu hal sederhana, kadang yang paling cepat bekerja bukanlah komisi yang baru dibentuk, tapi konstitusi yang akhirnya teringat fungsinya.

Polisi aktif tak lagi beraksi di kursi sipil,

MK mengetuk palu, seragam pun menepi,

Komisi reformasi baru belajar menulis profil,

Tapi MK sudah duluan mereformasi negeri.

"Wah, Ketua KPK bakal diganti ya, Bang. Padahal lagi garap Whoosh."

"Konsekuensi putusan MK sepertinya gitu, wak. Tapi, lihat aja nanti. Kita tetap ngopi tanpa gula." Ups.

(Editor: Aldie Prasetya / Penulis: Rosadi Jamani, Ketua Satupena Kalbar)

MK Putuskan: Polisi Aktif Tidak Boleh Isi Jabatan Sipil!

MK Putuskan: Polisi Aktif Tidak Boleh Isi Jabatan Sipil!.(Istimewa)

MERDEKAPOST.COM - Mahkamah Konstitusi (MK) resmi 'mengetok palu' terkait polemik rangkap jabatan aparat Kepolisian. Dalam putusan terbarunya, MK menegaskan polisi aktif dilarang menduduki jabatan sipil.

Putusan ini mengabulkan permohonan para pemohon yang menggugat penjelasan Pasal 28 ayat 3 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI.

Dalam amar putusannya yang dibacakan pada hari Kamis (13/11/2025), MK menyatakan frasa "atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri" dalam penjelasan pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Artinya, penafsiran yang selama ini membuka ruang bagi polisi aktif untuk menduduki jabatan di luar kepolisian (jabatan sipil) tanpa batasan yang jelas, kini resmi ditutup oleh MK.

Menanggapi putusan 'mengejutkan' ini, pihak Mabes Polri langsung angkat bicara. Polri menegaskan akan patuh dan menghormati apapun yang telah diputuskan oleh pengadilan.

"Polisi selalu akan menghormati putusan yang sudah ditetapkan oleh pengadilan," ujar Kadiv Humas Mabes Polri.

Meski begitu, pihak Polri mengaku belum menerima salinan resmi putusan tersebut. Pihaknya masih menunggu hasil resmi untuk dipelajari dan dilaporkan kepada Kapolri.

"Saat ini Polri masih menunggu hasil resminya seperti apa," lanjutnya.

Polri juga menjelaskan bahwa selama ini penugasan anggota di luar lembaga sudah memiliki aturan internal dan kriteria yang jelas, termasuk harus atas izin dari Kapolri.

"Tentunya kalau memang itu sudah diputuskan dan kita sudah mempelajari apa yang sudah diputuskan tersebut, Polri akan selalu menghormati putusan pengadilan," pungkasnya.

Putusan ini ternyata tidak bulat. Dari delapan hakim konstitusi yang mengadili, terdapat dua hakim yang memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion), yaitu hakim konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh dan hakim konstitusi M. Guntur Hamzah.

Keduanya berpendapat bahwa persoalan ini bukanlah masalah konstitusionalitas norma, melainkan masalah implementasi norma di lapangan. Karena itu, menurut keduanya, permohonan para pemohon seharusnya ditolak.(*)

Sahroni, Eko, Nafa Urbach Terbukti Melanggar Kode Etik, Uya Kuya dan Adies Kadir Bebas, Begini Responnya!

MKD: Sahroni, Eko, Nafa Urbach Terbukti Melanggar Kode Etik, Uya Kuya dan Adies Kadir Bebas dan kembali aktif sebagai anggota DPR RI. (adz/mpc)

JAKARTA – Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR akhirnya mengetuk palu atas kasus pelanggaran etik yang menyeret lima anggota DPR. Dalam sidang putusan di Kompleks Parlemen, Senayan, Rabu, 5 November 2025, tiga nama di pastikan bersalah: Ahmad Sahroni, Eko Hendro Purnomo alias Eko Patrio, dan Nafa Urbach.

Dua lainnya, Adies Kadir dan Surya Utama alias Uya Kuya, di nyatakan tidak bersalah.

“MKD memutuskan, teradu satu Adies Kadir tidak terbukti melanggar kode etik. Kami meminta agar yang bersangkutan lebih berhati-hati dalam menyampaikan informasi ke depan,” kata Wakil Ketua MKD, Adang Daradjatun, saat membacakan putusan.

Adang menjelaskan, Nafa Urbach di jatuhi sanksi nonaktif selama tiga bulan, Eko Patrio empat bulan, dan Sahroni enam bulan. Ketiganya tetap di nyatakan bersalah atas tindakan yang di anggap merendahkan marwah lembaga DPR.

“Putusan ini berlaku sejak di bacakan dan bersifat final,” ujar Adang.

Kasus ini bermula dari insiden pada Sidang Tahunan MPR, DPR, dan DPD pada 15 Agustus 2025. Saat itu, gestur dan komentar beberapa anggota dewan dinilai publik tidak pantas. Uya Kuya dan Eko Patrio, misalnya, tertangkap kamera berjoget di tengah sidang resmi. Sementara Sahroni di laporkan karena menggunakan diksi yang di anggap tidak pantas di hadapan publik.

Nafa Urbach menuai kecaman setelah menyebut kenaikan gaji dan tunjangan DPR “wajar dan pantas”, pernyataan yang kemudian di cap publik sebagai hedon dan tamak. Adies Kadir pun terseret lantaran komentarnya tentang tunjangan DPR yang di nilai menyesatkan publik.

Lima nama ini kemudian di adukan ke MKD pada September lalu. Ketua MKD, Nazaruddin Dek Gam, menyebut seluruh laporan telah di telaah berdasarkan bukti dan keterangan saksi ahli. “Kami menilai perbuatan para teradu telah mencoreng kehormatan lembaga legislatif,” kata Nazaruddin.

Usai pembacaan putusan, Adies Kadir dan Uya Kuya langsung kembali aktif sebagai anggota DPR. Sementara tiga lainnya harus menepi dari parlemen untuk sementara waktu sesuai masa sanksi yang di tetapkan.

Reaksi Para Teradu

Usai sidang, suasana di lobi Nusantara II tampak tegang. Eko Patrio, yang dikenal sebagai selebritas dan politisi Partai Amanat Nasional (PAN), memilih diam dan tidak menanggapi pertanyaan awak media.

Anggota DPR RI non aktif saat mendengarkan keputusan MKD.(istimewa) 

Berbeda dengan Eko, Uya Kuya yang dinyatakan bebas, tampak lebih tenang. Ia mengaku menghormati keputusan MKD dan menyebut proses sidang berjalan profesional. “Kita menghargai MKD. Menurut saya mereka sangat objektif, keputusan ini berdasarkan bukti dan saksi ahli yang sudah diperiksa,” katanya.

Menurutnya, putusan tersebut menjadi pelajaran berharga. “Semua manusia pasti pernah berbuat salah. Ini pembelajaran untuk saya pribadi dan teman-teman yang lain,” ujarnya.

Ketika ditanya apakah akan kembali aktif setelah masa sanksi berakhir, Sahroni hanya menjawab singkat, “Tunggu saja, semua diserahkan kepada mahkamah partai.”

Sementara Ahmad Sahroni, mengatakan dirinya menghormati proses yang dilakukan MKD. “Saya bersyukur karena semua fakta sudah terungkap. Kita terima dengan lapang dada,” ujarnya.(Tim)

Fahrudin Anggota DPRD Sungai Penuh Ditetapkan Jadi Tersangka

Sungai Penuh, Merdekapost.com – Ibarat kata pepetah, 'suda jatuh tertimpa tangga pula'. Satuan Reserse Kriminal (Satreskrim) Polres Kerinci secara resmi menetapkan FAHRUDIN, S.Pd, anggota DPRD Kota Sungai Penuh periode 2024–2029 dari Fraksi Partai Golkar sebagai tersangka dalam kasus dugaan tindak pidana pengrusakan bollard atau pembatas jalan di depan Gedung Nasional Sungai Penuh.

Penetapan status tersangka ini merupakan hasil dari gelar perkara yang dilaksanakan pada Jum’at, 24 Oktober 2025, di ruang Gelar Satreskrim Polres Kerinci, yang dipimpin langsung oleh Kasat Reskrim Polres Kerinci, AKP Very Prasetyawan, S.H., M.H.

Dalam gelar perkara tersebut, penyidik memaparkan seluruh hasil penyelidikan dan penyidikan secara komprehensif. Termasuk di antaranya keterangan dari 14 orang saksi, pendapat Ahli Hukum Pidana Dr. Andi Najemi, S.H., M.H. dari Universitas Jambi, serta sejumlah barang bukti yang telah diamankan penyidik, yaitu 10 (sepuluh) unit bollard dan 1 (satu) unit mesin gerinda yang diduga digunakan dalam aksi pengrusakan tersebut.

Baca juga:  

Presiden ke Korea, PGIN Diterima Wamensesneg, Guru Madrasah Swasta Desak Realisasi P3K dan Sertifikasi 'Tak Mau Janji Palsu!'

Kasat Reskrim Polres Kerinci, AKP Very Prasetyawan, S.H., M.H., menjelaskan bahwa dari hasil gelar perkara, penyidik menemukan dua alat bukti yang sah sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP, sehingga Fahrudin dinyatakan memenuhi unsur untuk ditetapkan sebagai tersangka.

“Dari hasil penyidikan dan gelar perkara, penyidik memperoleh bukti yang cukup untuk menetapkan Sdr. Fahrudin, S.Pd sebagai tersangka dalam perkara dugaan pengrusakan bollard sebagaimana dimaksud dalam Pasal 406 ayat (1) KUHPidana,” ujar Kasat Reskrim.

Lebih lanjut, AKP Very menegaskan bahwa seluruh proses penyidikan telah dilakukan secara profesional, transparan, dan berpedoman pada prinsip Presisi Polri.

“Kami bekerja sesuai prosedur dan berdasarkan alat bukti yang sah. Tidak ada intervensi dari pihak mana pun. Seluruh proses berjalan sesuai ketentuan hukum yang berlaku,” tegasnya.

Baca juga:  

PERMAHI Jambi Laporkan Tindak Pidana Kejahatan Siber ke Ditreskrimsus Polda Jambi

Sebagai tindak lanjut dari hasil gelar perkara, penyidik Satreskrim Polres Kerinci telah menyiapkan beberapa langkah lanjutan, di antaranya:

Melakukan panggilan dan pemeriksaan terhadap tersangka Fahrudin, S.Pd.

Melengkapi berkas perkara untuk segera dikirimkan ke Jaksa Penuntut Umum (JPU).

Melakukan koordinasi intensif dengan pihak Kejaksaan agar proses pelimpahan berkas dapat berjalan cepat dan lancar.

Kasat Reskrim juga mengimbau masyarakat untuk tidak terprovokasi oleh isu liar atau spekulasi di ruang publik, serta tetap memberikan kepercayaan penuh kepada aparat penegak hukum dalam menegakkan keadilan.

Bacaan lainnya:

Buntut dari Ucapan Kasar Viral, Golkar Copot Fahruddin dari Ketua Komisi II DPRD Sungai Penuh

“Kami berharap masyarakat tetap tenang dan tidak terpengaruh oleh informasi yang belum tentu benar. Polres Kerinci berkomitmen untuk menegakkan hukum secara profesional, objektif, dan transparan,” tutup Kasat Reskrim

Untuk diketahui, Fahruddin sepekan sebelumnya dicopot oleh Pimpinan Partai Golkar Kota Sungai Penuh dari jabatannya sebagai ketua komisi I DPRD Kota Sungai Penuh. sebagai buntut dari viralnya kasus penghinaan terhadap tukang (para pekerja) yang saat itu sedang bekerja membongkar Pasar Beringin Jaya Sungai Penuh.(*)

AMPJ Bakal Gelar Aksi di Kejati Jambi Terkait Keterlibatan HE Kasus Dugaan Korupsi di Sekretariat DPRD Merangin tahun 2024

AMP-J Saat Menyampaikan Surat Pemberitahuan Aksi ke Polda Jambi mengusut keterlibatan HE Dugaan kasus korupsi di Sekretariat DPRD Kabupaten Merangin tahun 2024.(mpc)

Jambi, Merdekapost.com – Babak baru Dugaan kasus korupsi di Sekretariat DPRD Kabupaten Merangin tahun 2024 dimulai. Kasus ini menyeret nama eks Pimpinan DPRD Merangin periode 2019-2024, Herman Efendi (HE). Dia disinyalir terlibat dalam dugaan skandal korupsi Uang Persediaan (UP) senilai Rp1,8 miliar.

Kasus ini terkuak setelah keluarnya Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK RI Perwakilan Provinsi Jambi yang telah diserahkan ke Sekretariat DPRD.

Informasi yang dihimpun, menyebutkan bahwa kasus tersebut sudah mencuat sejak tahun 2024 lalu dan bahkan sempat diproses oleh Polres Merangin. Namun, pada tahun 2025, persoalan ini kembali menarik perhatian publik setelah BPK merilis laporan yang memuat temuan baru atas hasil pemeriksaan.

Berdasarkan LHP BPK, dalam klarifikasi terhadap beberapa pihak di Sekretariat DPRD Merangin seperti Plt. Sekwan RZ, Bendahara Pengeluaran DA, PPTK RF dan AE, serta pegawai sekretariat KA, disebutkan bahwa HE menerima uang tersebut dan hingga akhir masa jabatan belum dapat mempertanggungjawabkan penggunaannya.

Berita Lainnya:

Wabup Batang Hari H. Bakhtiar Hadiri MAKARA XI Arkeologi Herinnering

Wabup Murison Lantik 7 Pejabat Administrator Lingkup Pemkab Kerinci

Mobnas Kadis Pariwisata Sungai Penuh Kecelakaan di Sebukar, 1 Penumpang Patah Kaki

Tim Wasev TMMD Kunker ke Kodim 0417 Kerinci, Dansatgas Paparkan Sasaran dan Progres TMMD 126 Secara Rinci

Temuan itu diperkuat oleh hasil klarifikasi terhadap YS, yang saat itu menjabat sebagai bendahara pengeluaran. Dalam keterangan YS, diakui bahwa bukti-bukti belanja yang dipertanggungjawabkan tidak seluruhnya sesuai dengan pengeluaran riil. Dari bukti SPJ yang ada, sebagian di antaranya hanya dibuat untuk menutup pemindahbukuan UP di awal tahun. 

Hal tersebut dilakukan atas sepengetahuan Plt. Sekwan RZ, dan dana itu digunakan untuk pinjaman HE serta pembayaran kegiatan di Sekretariat DPRD.

Masih berdasarkan LHP BPK, permasalahan ini disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, Plt. Sekwan selaku pengguna anggaran (PA) tidak mengendalikan pelaksanaan belanja barang dan jasa sesuai kondisi sebenarnya. 

Kedua, PPTK tidak mempertanggungjawabkan pembelanjaan barang dan jasa sesuai fakta lapangan. Ketiga, bendahara pengeluaran tidak melaksanakan tugas menerima, menyimpan, membayarkan, menatausahakan, serta mempertanggungjawabkan belanja barang dan jasa sesuai ketentuan.

Menurut Lahul,  Koordinator Aksi Aliansi Mahasiswa Peduli Jambi (AMPJ), "kasus ini harus diselidiki se-transparans mungkin, dan seharusnya Kejati mendengarkan keluhan dan kekhawatiran publik". 

"Kita akan aksi di depan Kejati dalam waktu dekat, dan sesuai aturan, Kita sudah sampaikan Surat Pemberitahuan aksi ke Polda Jambi secara resmi”. pungkasnya.(adz/red)

Buntut dari Ucapan Kasar Viral, Golkar Copot Fahruddin dari Ketua Komisi II DPRD Sungai Penuh

Buntut dari Ucapan Kasar dan meghina para pekerja bangunan yang Viral, Pimpinan Golkar Kota Sungai Penuh Mencopot Fahruddin, S.Pd dari Ketua Komisi II DPRD Sungai Penuh.(adz)

Sungai Penuh, Merdekapost.com – DPD Partai Golkar Kota Sungai Penuh akhirnya mengambil langkah tegas terhadap kadernya, Fahruddin, S.Pd, buntut dari video viral yang menampilkan ucapannya bernada kasar kepada para pekerja saat pembongkaran Pasar Beringin Jaya pada 15 Oktober 2025 lalu.

Ketua DPD Golkar Kota Sungai Penuh, Fikar Azami, memastikan bahwa partai telah menjatuhkan Surat Peringatan Kedua (SP2) sekaligus mencopot Fahruddin dari jabatannya sebagai Ketua Komisi II DPRD Kota Sungai Penuh.

“Mulai hari ini, Selasa (21/10/2025), partai sudah memberikan surat peringatan ke-2 kepada Fahruddin karena melanggar kode etik dan peraturan organisasi. Saya juga sudah menginstruksikan Fraksi Golkar agar mencopot yang bersangkutan dari jabatan Ketua Komisi II DPRD Kota Sungai Penuh, dan itu sudah dilakukan per hari ini,” tegas Fikar Azami.

Baca Juga: Akibat Prilaku Kadernya yang Tak Beretika, Golkar Sungai Penuh Tuai Sorotan Tajam

Langkah ini menunjukkan sikap tegas Golkar dalam menegakkan disiplin dan menjaga marwah partai di tengah sorotan publik. “Kami tidak mentolerir tindakan yang bisa mencoreng citra partai maupun lembaga legislatif,” tambah Fikar.

Saat ditanya mengenai siapa yang akan menggantikan posisi Ketua Komisi II DPRD Kota Sungai Penuh, Fikar mengatakan, "Terkait itu nanti berproses di DPRD," jawabnya

Kasus Fahruddin sebelumnya menjadi perhatian publik setelah potongan video dirinya tersebar luas di media sosial. 

Dalam video itu, Fahruddin terdengar melontarkan kata-kata tidak pantas kepada pekerja proyek pembongkaran pasar. Meski belakangan ia telah menyampaikan klarifikasi dan permintaan maaf secara terbuka, partai tetap menilai tindakan tersebut tidak sejalan dengan etika politik yang harus dijaga oleh  seorang wakil rakyat.

Langkah cepat DPD Golkar ini mendapat apresiasi dari sejumlah kalangan yang menilai partai harus menjadi contoh dalam menegakkan kedisiplinan dan menjaga perilaku kadernya di ruang publik.(adz)

Akibat Prilaku Kadernya yang Tak Beretika, Golkar Sungai Penuh Tuai Sorotan Tajam

Buntut dari Prilaku Tak Beretika 'Dewan' Golkar, Hina Pekerja Bangunan dengan sebutan binatang, DPD Golkar Sungai  Penuh Akan Panggil Anggota DPRD Fahrudin.(adz) 

Sungai Penuh, Merdekapost.com - Perilaku tidak pantas kembali dipertontonkan oleh salah seorang anggota DPRD Kota Sungai Penuh dari Fraksi Partai Golkar, Fahrudin. Dalam sebuah inspeksi mendadak (sidak) di lokasi pembongkaran Pasar Beringin, Fahrudin diduga melontarkan kata-kata kasar bernada penghinaan kepada para pekerja bangunan dengan menyebut nama hewan.

Ucapan tersebut sontak menimbulkan kegaduhan dan menuai kecaman luas dari masyarakat.

Insiden bermula ketika rombongan Komisi II DPRD Kota Sungai Penuh melakukan peninjauan ke area proyek pembongkaran pasar. Di tengah kegiatan tersebut, Fahrudin yang terlihat emosional tiba-tiba mendekati para pekerja dan mengucapkan kata-kata tidak pantas dengan nada tinggi. Tindakan itu dinilai tidak hanya melukai perasaan para pekerja, tetapi juga mencoreng citra lembaga legislatif.

Baca Juga: Biaya Operasi Membengkak, ZK Anak Yatim Korban Ditusuk Kunci di Kepala Butuh Bantuan

Gelombang kritik pun langsung bermunculan, baik dari kalangan masyarakat maupun di media sosial. Banyak warga menilai perilaku Fahrudin tidak mencerminkan sikap seorang wakil rakyat yang seharusnya menjadi teladan dan pelindung masyarakat kecil. Sejumlah komentar di dunia maya bahkan mendesak agar Partai Golkar memberikan sanksi tegas, pemecatan terhadap yang bersangkutan.

Menanggapi derasnya sorotan publik, Ketua DPD Partai Golkar Kota Sungai Penuh, Fikar Azmi, menyatakan bahwa pihaknya tidak akan menutup mata terhadap perilaku kadernya. Ia menegaskan bahwa partai akan mengambil langkah tegas sesuai mekanisme organisasi.

“Permasalahan ini sudah kami tindaklanjuti. Besok, Senin, yang bersangkutan akan dipanggil oleh pimpinan fraksi dan pengurus DPD Partai Golkar untuk dimintai keterangan serta klarifikasi. Hari ini juga, partai akan mengeluarkan surat peringatan resmi kepada yang bersangkutan,” tegas Fikar Azmi saat dikonfirmasi wartawan, Minggu (18/10).

Baca Juga: Serap Aspirasi Masyarakat, Hardizal Gelar Reses di Talang Lindung

Fikar menambahkan, Partai Golkar berkomitmen menjaga marwah, integritas, dan moral kadernya, terutama mereka yang duduk sebagai wakil rakyat. Ia juga menyampaikan permohonan maaf kepada masyarakat atas insiden yang menimbulkan keresahan publik tersebut.

“Kami atas nama Partai Golkar Kota Sungai Penuh menyampaikan permohonan maaf kepada masyarakat, khususnya para pekerja yang tersinggung atas ucapan tersebut. Kami akan memastikan kejadian seperti ini tidak akan terulang kembali,” ujarnya.

Hingga berita ini diterbitkan, Fahrudin belum memberikan keterangan resmi maupun permintaan maaf secara terbuka. Namun, desakan publik agar dirinya segera menyampaikan klarifikasi dan permintaan maaf kian menguat dari berbagai kalangan mulai dari tokoh adat, pemuda, hingga masyarakat umum.(Red)

Copyright © Merdekapost.com. All rights reserved.
Redaksi | Pedoman Media Cyber | Network | Disclaimer | Karir | Peta Situs